Minggu, 10 April 2011

FAM

       Bau masakan mama memang sedap, tapi cita rasa makanannya tidak seberapa nikmat. Kami  berusaha menghargai mama, menahan uneg-uneg kami tentang rasa makanan itu. Yah, karena mama memang hobi memasak. Aku berjalan mengitari dapur, mengamati setiap alat dan bahan yang dipakai mama untuk memasak. Audrey, pria kecilku yang lucu kini berumur 4 tahun, ia belari pelan mengitari mama. Sinar wajah dan suara kecil imutnya membuat tenang jiwa pada siapa saja yang berada di dekatnya. Ia berhenti tepat di depanku, menatapku dan tersenyum kecil. Selalu begitu, mengeluarkan senyum manja pada setiap orang yang berada di depannya. Ia adalah harapan sekaligus sinar terang.siapa saja di rumah ini.
            Mama menyayangi dan mengasihinya, memberikan kasih sayang kepada setiap anak anaknya. Senyum indah Audrey berasal dari mama, lesung pipinya dan mata sipitnya saat tersenyum. Kami menyebutnya senyuman mata. Senyuman dari mama yang meruntuhkan hati papa saat muda.. Mama mempunyai sepasang sayap dipunggungnya. Ia bagaikan malaikat di keluarga ini, bagaikan dewi yang memberikan selimut bagi kami, anak anaknya.
            Aku berdiri di belakang mama dan mengucapkan kata kata untuk memberikan semangat dalam memasak makanan yang akan dihidangkan kepada para tamu nanti. Ia tidak menghiraukanku, memang mama tampak fokus pada kegiatannya saat ini. Ia pasti ingin memberikan hidangan dan cita rasa yang terbaik pada para tamu yang datang nanti. Aku berjalan ke ruang tamu, papa dan adik perempuanku, Sonya asyik menonton tv.
            Bila Sonya bisa kudeskripsikan, ia adalah gadis metropolitan saat ini. Ia adalah dara muda yang terbang bebas mecari jati diri hidup. Senyum mama juga menurun ke Sonya, tak khayal papa selalu memberikan pengarahan agar tidak sering membawa seorang laki laki ke rumah. Ia seorang dewi bagi laki laki remaja, seorang Athena. Keindahannya yang membuat mereka bertekuk lutut.  Kecantikannya bagaikan bola salju, semakin sering waktu berlalu, umur bertambah, ia semakin cantik. Ia sang sempurna.
            Pikiran pikiran Sonya berpengaruh di keluarga ini. Selain beautiful outlook, ia juga mempunyai beautiful mind. Gagasan gagasan yang ia keluarkan serta pikiran pikiran jernihnya patut di berikan apresiasi. Ia muda tapi pemikirannya bagaikan singa dewasa. Kami bangga akan dirinya, bangga akan kreasi Tuhan yang satu ini. Sonya dan Audrey adalah pengobat rindu saat aku pulang dari luar kota untuk kuliah. Senyuman mereka memberikan sebuah regenarasi baru pada hatiku. Mereka adalah rizki yang diberikan tuhan untukku. Sayang raut wajah Sonya sekarang tampak buruk, tak ada sekecil senyumpun yang keluar dari rupa Sonya beberapa hari ini, begitu juga mama dan papa. Hanya Audrey kecil yang memberikan senyum serta sedikit tawa kecil.
                                                            ***

            “Bagaimana bila memang bulan bisa kita belah ? “
            “Aku akan bagi untuk kita berdua tentu, “ ucap Cinta. Ia adalah Cinta, ia adalah cinta untukku. Kami berdua bagaikan sepasang angsa kecil sejak SMA. Kami selalu satu di berbagai tempat.
            Sekarang kami berpijak di atas jembatan, tempat kami melupakan waktu dalam sesaat. Malam adalah jadwal kami.
            “Sungguh tidak bermakna bila hanya  dibagi untuk berdua, bagilah untuk seluruh dunia baru bermakna mungkin, “ ucapku mencoba untuk mengguruinya.
            “Tidak, tidak. Tentunya akan sulit untuk membelah bulan, tidak adil untukku bila mereka yang diam melihat mendapatkan hasilnya, “ ucapnya dengan nada bertahan.
            Cinta adalah dewiku. Ia memberikan gairah yang tak terhingga, membuatku diriku sendiri menjadi motivasi untuk menjadi yang lebih baik. Baik untuk kami maupun baik bagi diri masing masing.
            Aku mencintainya dari apa yang ia suka hingga apa yang ia benci. Dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Dari apapun yang ada di muka bumi ini. Tidak ada satu ataupun dua ataupun tiga yang lain yang bisa memisahkan kami.
            Cinta sudah menjadi satu bagian dari keluarga kami. Aku selalu mengundangnya di setiap acara keluarga. Ia menjadi teman bermain Audrey dan tempat curahan hati Sonya. Aku bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah ia berikan padaku saat itu. Saat dimana surga sudah berada di bumi ini, tidak perlu untuk kau nanti di alam dan waktu yang lain lagi.
            Kami berjalan menyusuri jembatan ini, sebuah jalan raya sepi menanti di depan. Rumahku berada di seberang, sepuluh langkah untuk menjangkau. Merasa sebagai seorang pelindung, aku  berada di sisi dimana arah kendaraan datang ke arah kami. Kami berjalan pelan ke depan, kupegang tangan halusnya. Seperti kapas, betapa halus tangannya, melebihi kapur atau butiran butiran pasir manapun.
            Memandang wajahnya, Cinta begitu putih. Senyumku muncul, entah untuk apa. Kami berhenti di tengah jalan itu.
            Sesuatu muncul dari wajah Cinta, tak ada senyum darinya. Kepanikan muncul dari matanya, mulutnya, raut mukanya. Aku merasakannya, tapi tidak aku hiraukan. Terlalu silau akan putihnya, melebihi awan siang hari, melebihi putih sutra terindah yang pernah ada.
            Ragaku terpental, tak tahu mengarah kemana. Detak jantungkupun tak terasa, semua terbujur kaku. Sekarang bukan Cinta yang terlihat di depan, tapi sebuah sosok hitam yang bersiap menarik ruhku.
                                                                        ***
            Aku duduk diantara Sonya dan papa. Mereka begitu tenang dan kalem menyaksikan siaran di televisi. Mama tiba tiba datang dan berlari ke kamar, suara tangisannya terasa menghentarkan seisi rumah. Sonya berdiri dan menyusul mama, tapi papa langsung memeluknya hingga menembus tubuhku, tak ada rasa sama sekali. Kehampaan yang dirasa olehku. Tak ada lagi saraf saraf perasa yang berfungsi, detak jantungkupun sudah di angka nol.
                 . Tangisan Sonya tidak mengganggu Audrey, ia masih berlari lari kecil mengitari ruang keluarga. Andai mereka seperti Audrey, mungkin semua butir butir air tak akan keluar dari mata mereka.
                 Aku mencoba keluar dari keadaan ini, berdiri dari tembusan tubuh papa. Tapi apakah yang kulihat di depan ? Bayangan putih suci keluar dari lubang hitam entah dari mana. Warnanya terang bagaikan topaz yang memantulkan cahaya matahari. Bahkan saat engkau memejamkan mata, sinarnya akan terus menggodamu untuk melihat. Ia lebih putih dari cinta Cinta, lebih indah dari senyum mama, Audrey, maupun Sonya. Lebih putih dari kepahlawanan papa.
                 Ia mendekatiku, wajahnya tanpa emosi. Tak ada sebuah istilah untuk mendeskripsikannya. Kuperhatikan papa dan Sonya, mereka tidak merasakan kehadirannya. Andai mereka bisa merasakan keindahan putih ini, mungkin mereka bisa menghilangkan kesedihan ini.
                 Ia terlalu dekat sekarang, keseimbanganku goyah. Otakku penuh dengan dorongan kepada seluruh ototku agar mendekatinya.
                 Sebuah nafsukah ?
                 Sebuah obsesi kah ?
                 Sebuah kata berhasil kutemukan dari jutaan kata yang kucari untuk menamakannya. “Malaikat”. Bukan seperti yang kutemui di jalan dimana aku mengalami kecelakaan di saat yang lalu. Yang kini lebih putih, lebih penuh rasa kasih sayang.
                 Uluran tangannya menandakan sebuah bantuan, sebuah jalan baru. Aku menggeleng, berjalan menuju kamar mama. Ia masih menangis, Audrey berada di sebelahnya sekarang. Tersenyum dan mengelus elus rambut indahnya. Sebuah harmoni yang indah tetap tak bisa mengganti kesedihan mama. Senyum pesona Audrey yang terus ia lakukan bahkan tak bisa menghentikan tetes air mata mama.
                 Sebuah kata kata indah yang biasa kuberikan untuk mama tak bisa kukeluarkan sekarang. Aku terlalu gagap dan terlalu beku, bahkan aku sudah tidak mengerti apa itu emosi cinta.
                 Perlahan langkahku menjauhi kamar ini. Aku mendekat ke arah malaikat itu. Ia masih menawarkan genggaman kilauan tangannya. Kutoleh ke dinding di atas TV, sebuah foto keluarga yang terlalu indah untuk di gambarkan.
 Tangan kananku bersiap untuk meraih malaikat itu. Sudah saatnya Tuhan memanggilku, tak seharusnya aku menolak bukan ?
                 Hingga Cinta datang dan memeluk Sonya, akhirnya kusadari terlalu berat untuk meninggalkan mereka. Pipi dibasahi oleh air mata, tak bisa kukontrol, tapi tak ada pilihan lagi.
 Tanganku kini sudah melekat di malaikat putih itu, ia mengangguk dan mengepakkan ribuan sayapnya. Hempasan sayapnya tidak akan bisa di jelaskan dengan teori fisika, biologi, atau teori manapun.
“ Papamu ? “ tanyanya
“Biarlah, “ kataku dingin.
Beberapa saat sebelum aku hendak menghembuskan nafas terakhir waktu itu, papa mengeluarkan gugatan cerai pada mama. Memang sebuah hal tabu bagi keluarga untuk mengatakan hal tentang kedisharmonisan mama dan papa akhir-akhir ini.
Berbohong kepada diriku sendiri, aku mencoba mengesampingkan konflik itu. Mungkin inilah jawaban mengapa aku di turunkan kesini. Untuk menyelesaikan beban sebelum berangkat. Tapi kini ayah sudah memeluk Sonya serta mama. Mungkin ia mengurungkan gugatannya. Mungkin hatinya sudah luntur.
                 Kami bergerak ke atas, meninggalkan duniawi ini. Meninggalkan tangisan, senyuman, kefanaan. Aku menoleh kebelakang sesaat, Audrey mengucapkan salam perpisahan dengan lambaian tangannya. Ia tersenyum padaku, aku berusaha membalas.
 Kemilau cahaya putih itu tidak membuatku menutup mata, terlalu indah. Semoga Tuhan mau menerimaku, semoga Tuhan mau tersenyum padaku, semoga Ia mempersatukanku dengan mereka lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar