Minggu, 10 April 2011

FAM

       Bau masakan mama memang sedap, tapi cita rasa makanannya tidak seberapa nikmat. Kami  berusaha menghargai mama, menahan uneg-uneg kami tentang rasa makanan itu. Yah, karena mama memang hobi memasak. Aku berjalan mengitari dapur, mengamati setiap alat dan bahan yang dipakai mama untuk memasak. Audrey, pria kecilku yang lucu kini berumur 4 tahun, ia belari pelan mengitari mama. Sinar wajah dan suara kecil imutnya membuat tenang jiwa pada siapa saja yang berada di dekatnya. Ia berhenti tepat di depanku, menatapku dan tersenyum kecil. Selalu begitu, mengeluarkan senyum manja pada setiap orang yang berada di depannya. Ia adalah harapan sekaligus sinar terang.siapa saja di rumah ini.
            Mama menyayangi dan mengasihinya, memberikan kasih sayang kepada setiap anak anaknya. Senyum indah Audrey berasal dari mama, lesung pipinya dan mata sipitnya saat tersenyum. Kami menyebutnya senyuman mata. Senyuman dari mama yang meruntuhkan hati papa saat muda.. Mama mempunyai sepasang sayap dipunggungnya. Ia bagaikan malaikat di keluarga ini, bagaikan dewi yang memberikan selimut bagi kami, anak anaknya.
            Aku berdiri di belakang mama dan mengucapkan kata kata untuk memberikan semangat dalam memasak makanan yang akan dihidangkan kepada para tamu nanti. Ia tidak menghiraukanku, memang mama tampak fokus pada kegiatannya saat ini. Ia pasti ingin memberikan hidangan dan cita rasa yang terbaik pada para tamu yang datang nanti. Aku berjalan ke ruang tamu, papa dan adik perempuanku, Sonya asyik menonton tv.
            Bila Sonya bisa kudeskripsikan, ia adalah gadis metropolitan saat ini. Ia adalah dara muda yang terbang bebas mecari jati diri hidup. Senyum mama juga menurun ke Sonya, tak khayal papa selalu memberikan pengarahan agar tidak sering membawa seorang laki laki ke rumah. Ia seorang dewi bagi laki laki remaja, seorang Athena. Keindahannya yang membuat mereka bertekuk lutut.  Kecantikannya bagaikan bola salju, semakin sering waktu berlalu, umur bertambah, ia semakin cantik. Ia sang sempurna.
            Pikiran pikiran Sonya berpengaruh di keluarga ini. Selain beautiful outlook, ia juga mempunyai beautiful mind. Gagasan gagasan yang ia keluarkan serta pikiran pikiran jernihnya patut di berikan apresiasi. Ia muda tapi pemikirannya bagaikan singa dewasa. Kami bangga akan dirinya, bangga akan kreasi Tuhan yang satu ini. Sonya dan Audrey adalah pengobat rindu saat aku pulang dari luar kota untuk kuliah. Senyuman mereka memberikan sebuah regenarasi baru pada hatiku. Mereka adalah rizki yang diberikan tuhan untukku. Sayang raut wajah Sonya sekarang tampak buruk, tak ada sekecil senyumpun yang keluar dari rupa Sonya beberapa hari ini, begitu juga mama dan papa. Hanya Audrey kecil yang memberikan senyum serta sedikit tawa kecil.
                                                            ***

            “Bagaimana bila memang bulan bisa kita belah ? “
            “Aku akan bagi untuk kita berdua tentu, “ ucap Cinta. Ia adalah Cinta, ia adalah cinta untukku. Kami berdua bagaikan sepasang angsa kecil sejak SMA. Kami selalu satu di berbagai tempat.
            Sekarang kami berpijak di atas jembatan, tempat kami melupakan waktu dalam sesaat. Malam adalah jadwal kami.
            “Sungguh tidak bermakna bila hanya  dibagi untuk berdua, bagilah untuk seluruh dunia baru bermakna mungkin, “ ucapku mencoba untuk mengguruinya.
            “Tidak, tidak. Tentunya akan sulit untuk membelah bulan, tidak adil untukku bila mereka yang diam melihat mendapatkan hasilnya, “ ucapnya dengan nada bertahan.
            Cinta adalah dewiku. Ia memberikan gairah yang tak terhingga, membuatku diriku sendiri menjadi motivasi untuk menjadi yang lebih baik. Baik untuk kami maupun baik bagi diri masing masing.
            Aku mencintainya dari apa yang ia suka hingga apa yang ia benci. Dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Dari apapun yang ada di muka bumi ini. Tidak ada satu ataupun dua ataupun tiga yang lain yang bisa memisahkan kami.
            Cinta sudah menjadi satu bagian dari keluarga kami. Aku selalu mengundangnya di setiap acara keluarga. Ia menjadi teman bermain Audrey dan tempat curahan hati Sonya. Aku bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah ia berikan padaku saat itu. Saat dimana surga sudah berada di bumi ini, tidak perlu untuk kau nanti di alam dan waktu yang lain lagi.
            Kami berjalan menyusuri jembatan ini, sebuah jalan raya sepi menanti di depan. Rumahku berada di seberang, sepuluh langkah untuk menjangkau. Merasa sebagai seorang pelindung, aku  berada di sisi dimana arah kendaraan datang ke arah kami. Kami berjalan pelan ke depan, kupegang tangan halusnya. Seperti kapas, betapa halus tangannya, melebihi kapur atau butiran butiran pasir manapun.
            Memandang wajahnya, Cinta begitu putih. Senyumku muncul, entah untuk apa. Kami berhenti di tengah jalan itu.
            Sesuatu muncul dari wajah Cinta, tak ada senyum darinya. Kepanikan muncul dari matanya, mulutnya, raut mukanya. Aku merasakannya, tapi tidak aku hiraukan. Terlalu silau akan putihnya, melebihi awan siang hari, melebihi putih sutra terindah yang pernah ada.
            Ragaku terpental, tak tahu mengarah kemana. Detak jantungkupun tak terasa, semua terbujur kaku. Sekarang bukan Cinta yang terlihat di depan, tapi sebuah sosok hitam yang bersiap menarik ruhku.
                                                                        ***
            Aku duduk diantara Sonya dan papa. Mereka begitu tenang dan kalem menyaksikan siaran di televisi. Mama tiba tiba datang dan berlari ke kamar, suara tangisannya terasa menghentarkan seisi rumah. Sonya berdiri dan menyusul mama, tapi papa langsung memeluknya hingga menembus tubuhku, tak ada rasa sama sekali. Kehampaan yang dirasa olehku. Tak ada lagi saraf saraf perasa yang berfungsi, detak jantungkupun sudah di angka nol.
                 . Tangisan Sonya tidak mengganggu Audrey, ia masih berlari lari kecil mengitari ruang keluarga. Andai mereka seperti Audrey, mungkin semua butir butir air tak akan keluar dari mata mereka.
                 Aku mencoba keluar dari keadaan ini, berdiri dari tembusan tubuh papa. Tapi apakah yang kulihat di depan ? Bayangan putih suci keluar dari lubang hitam entah dari mana. Warnanya terang bagaikan topaz yang memantulkan cahaya matahari. Bahkan saat engkau memejamkan mata, sinarnya akan terus menggodamu untuk melihat. Ia lebih putih dari cinta Cinta, lebih indah dari senyum mama, Audrey, maupun Sonya. Lebih putih dari kepahlawanan papa.
                 Ia mendekatiku, wajahnya tanpa emosi. Tak ada sebuah istilah untuk mendeskripsikannya. Kuperhatikan papa dan Sonya, mereka tidak merasakan kehadirannya. Andai mereka bisa merasakan keindahan putih ini, mungkin mereka bisa menghilangkan kesedihan ini.
                 Ia terlalu dekat sekarang, keseimbanganku goyah. Otakku penuh dengan dorongan kepada seluruh ototku agar mendekatinya.
                 Sebuah nafsukah ?
                 Sebuah obsesi kah ?
                 Sebuah kata berhasil kutemukan dari jutaan kata yang kucari untuk menamakannya. “Malaikat”. Bukan seperti yang kutemui di jalan dimana aku mengalami kecelakaan di saat yang lalu. Yang kini lebih putih, lebih penuh rasa kasih sayang.
                 Uluran tangannya menandakan sebuah bantuan, sebuah jalan baru. Aku menggeleng, berjalan menuju kamar mama. Ia masih menangis, Audrey berada di sebelahnya sekarang. Tersenyum dan mengelus elus rambut indahnya. Sebuah harmoni yang indah tetap tak bisa mengganti kesedihan mama. Senyum pesona Audrey yang terus ia lakukan bahkan tak bisa menghentikan tetes air mata mama.
                 Sebuah kata kata indah yang biasa kuberikan untuk mama tak bisa kukeluarkan sekarang. Aku terlalu gagap dan terlalu beku, bahkan aku sudah tidak mengerti apa itu emosi cinta.
                 Perlahan langkahku menjauhi kamar ini. Aku mendekat ke arah malaikat itu. Ia masih menawarkan genggaman kilauan tangannya. Kutoleh ke dinding di atas TV, sebuah foto keluarga yang terlalu indah untuk di gambarkan.
 Tangan kananku bersiap untuk meraih malaikat itu. Sudah saatnya Tuhan memanggilku, tak seharusnya aku menolak bukan ?
                 Hingga Cinta datang dan memeluk Sonya, akhirnya kusadari terlalu berat untuk meninggalkan mereka. Pipi dibasahi oleh air mata, tak bisa kukontrol, tapi tak ada pilihan lagi.
 Tanganku kini sudah melekat di malaikat putih itu, ia mengangguk dan mengepakkan ribuan sayapnya. Hempasan sayapnya tidak akan bisa di jelaskan dengan teori fisika, biologi, atau teori manapun.
“ Papamu ? “ tanyanya
“Biarlah, “ kataku dingin.
Beberapa saat sebelum aku hendak menghembuskan nafas terakhir waktu itu, papa mengeluarkan gugatan cerai pada mama. Memang sebuah hal tabu bagi keluarga untuk mengatakan hal tentang kedisharmonisan mama dan papa akhir-akhir ini.
Berbohong kepada diriku sendiri, aku mencoba mengesampingkan konflik itu. Mungkin inilah jawaban mengapa aku di turunkan kesini. Untuk menyelesaikan beban sebelum berangkat. Tapi kini ayah sudah memeluk Sonya serta mama. Mungkin ia mengurungkan gugatannya. Mungkin hatinya sudah luntur.
                 Kami bergerak ke atas, meninggalkan duniawi ini. Meninggalkan tangisan, senyuman, kefanaan. Aku menoleh kebelakang sesaat, Audrey mengucapkan salam perpisahan dengan lambaian tangannya. Ia tersenyum padaku, aku berusaha membalas.
 Kemilau cahaya putih itu tidak membuatku menutup mata, terlalu indah. Semoga Tuhan mau menerimaku, semoga Tuhan mau tersenyum padaku, semoga Ia mempersatukanku dengan mereka lagi.

Sabtu, 02 April 2011

GARUDA TERBUANG


            Cara berpikir orang orang sudah melantur. Beberapa dari mereka menggunakan nafsu, materialistis menjadi ideologi mereka. Mereka berusaha menegakkan Pancasila, tapi yang mereka lakukan sekarang tak ada beda dengan munafik. Sepenglihatan saya, hanya bisa melihat satu orang dengan nasionalisme tinggi diantara sepuluh orang tak ubah dengan anjing di gedung atap hijau itu.
            Saya merasa jijik saat mereka menempelkan lencana pahlawan di jas saya. Memang saya beruban dan bungkuk, tapi otak dan indera saya yang lain masih bergerak. Begitu sampai di rumah, saya akan buang jauh jauh lencana ini.
            Ayah mengungkapkan alasannya mengajak saya menjadi PKI dulu. Sejahtera adalah kata awal yang ada. Keluarga petani seperti kamilah yang diperhatikan PKI saat itu, sedangkan di mata pemerintah maupun partai lain, kami tak ada bedanya dengan pengemis pinggir jalan atau perusuh yang dianggap tidak berpendidik. Kami masuk PKI, tapi masih beragama (rahasia saya dan ayah). Waktu sembahyang kami lakukan secara tersembunyi, sedangkan di luar kami berperilaku layaknya sosialis dan komunis. Silahkan mengatakan munafik, tapi saya berani bertaruh, anda pasti berbuat lebih menjijikkan lebih dari kami bila hidup di zaman itu.
            PKI membiayai setengah kehidupan kami. Beban hidup yang dulunya menjadi parasit di otak kami mulai sirna. Kebutuhan pangan kami tak lagi dipikirkan. Untuk pertama kali ayah tersenyum setelah sekian lama meratapi kepergian ibu. Kehidupan kami makin tentram setelah ayah diberi mandat PKI untuk memimpin kampanye PKI di daerah kami.
            Hingga waktu berjalan, kelakuan ayah semakin layaknya seorang komunis. Mungkin tak dapat dihindari pengaruh dari lingkungan. Ayahpun semakin jarang bersembahyang, berdo’a, maupun mengucapkan kata kata salam Islam. Karena perubahan sikapnya itu, saya semakin jarang berbicara dengannya bahkan timbul perasaan takut maupun cemas bila berada di dekatnya. Cemas akan kehidupan kami nanti, takut akan masa depan kami nanti.
            Hingga tanggal itu datang, 2 September 1965 subuh. Ayah mengusir saya dari rumah, ia memukul saya bahkan menendang. Ia memberikan beberapa rupiah untuk pesangon saya di jalan.
            Saya berjalan di gang kecil dekat rumah, tak tau jalan, seorang remaja berumur 18 tahun tak tahu arah tujuan. Kuarahkan langkah kaki ke arah terbit matahari agar semakin cepat melihat cahaya. Saya mencoba melihat kebelakang, nyala kobaran api menjadi cahaya yang saya lihat pertama kali. Mungkin itu terakhir kali saya bertatap muka dengan ayah.
            Beberapa tahun kemudian saya diangkat anak oleh seorang priyayi terkaya dan ternama di Surabaya. Ia memungut saya di gang tempat saya tinggal. Saya tak pernah pergi dari situ, tak pernah meninggalkan kediaman asli. Terlalu bingung dan ragu akan arah tujuan. Untung para pasukan partikelir tidak menangkap saya saat inspeksi orang orang PKI. Allah masih melindungi saya.
            Gusdi Waraningrat, ia memberikan semua kebutuhan saya. Dari pendidikan, Ilmu hidup, bahkan pasangan hidup. Saya adalah investasinya untuk kedepan, dan saya putuskan untuk balas budi padanya.
            Bertahun tahun saya sekolah, melanjutkan apa yang saya pelajari waktu hidup dengan ayah. Saya belajar politik dan hukum , saya belajar hidup dan filsafat serta itulah pertama kali saya tahu akan kebiadaan politik dan hukum itu sendiri. Saya ditempatkan di salah satu kursi di pemerintahan, itupun karena koneksi Gusdi dengan orang dalam. Orang dalam orde baru, yang ratanya adalah sayap kanan, yang saya perlu lakukan adalah melancarkan proyek proyek Gusdi dalam berdagang.
            Pantaskah saya hidup seperti ini ?
            Allah menjawab tidak. Hingga Gusdi akhirnya mati di atas tumpukan uangnya Tanpa menyesali atau menangisi kematiannya saya langsung beralih menjadi oposisi pemerintah. Dengan bantuan orang orang Gusdi yang akhirnya menjadikan saya penuntun mereka dan posisi saya yang memungkinkan, kami bersama melawan orde baru. Saya dan para tikus tak ber-ibu tepatnya.
            Orde baru jatuh, perlu bertahun tahun tepatnya.
            Tapi pada bertahun tahun itu masih berdaya dan ada orang orang dengan mengatasnamakan ideology mereka pancasila.
            Saya menghormati garuda ini, sungguh. Tapi akan menjadi debu dan noda bila tersentuh tangan tangan mereka.
            

Jumat, 04 Maret 2011

RITUAL



-Ketenangan manusia adalah saat mereka sedang berdoa
                Mungkin mereka memberikan morfin dengan kadar standar, hingga membuat aku setengah sadar saat ini. Aku masih bisa mendengar sentuhan antar logam, dan bisa mendengar desisan desisannya.  Selebihnya mataku silau dan remang remang bila melihat ke atas, tak bisa kubedakan. Aku mengangkat tangkanku ke atas pelan, entah untuk apa. Aku merasakan kegaduhan mereka, mereka membiusku lagi..
            Esoknya dua teman sekamarku, Adam dan Rendi menjemputku.
            “Tiga hari hari, Baru kemari lusa operasi dan sekarang mau keluar ? Kau tahu kan lukamu masih basah?” gerutu Adam, ia mengangkat tasku dan menuju pintu keluar kamar rawat. Orang orang yang melihatnya pasti ketakutan. Rambut cepaknya dan badannya yang kekar mengokohkannya. Raut mukanyapun selalu tampak garang. Apalagi kulitnya coklat kehitaman layaknya petarung dari Persia.
            “Masalahnya adalah uang Adam. Kalau kau mau meinjamkanku 300 ribu lagi mungkin kau akan memanggilku putri tidur sekarang,” balasku, aku duduk di sofa sembari membaca majalah. Rendi pun datang setelah mengurus administrasi.
            “Hei, mereka meminta kita jaminan agar kami berdua merawatmu seminggu lebih, jaitanmu masih belum kering kata mereka.”
            “Thanks, Ran,” Aku meletakkan majalah itu dan mencoba berdiri. Jaitanku langsung terasa perih, meringis sesaat, aku duduk kembali dan melempar majalah di sebelah ke kasur di depan. “Rendi bisakah kau ?” Aku memohon bantuannya, ia datang dan membopongku ke luar. Randi, ia lebih kalem dibandingkan dengan Adam. Ia yang mengurus perawatanku selama berada disini.
            Kami berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju pintu keluar.
            “Tidak apa bila aku minta tolong sekali lagi ?”
            “Yes ? “ kata Randi. Adam di belakang membawa barang barangku, kulihat ke arahnya sekali kali dan raut mukanya tampak kesal.  Mungkin perkataanku tadi di kamar cukup membuatnya meradang. Aku harus minta maaf setelah ini.
“Tolong urus asuransi mobilku, bila dapat hasil, kita akan bagi tiga. Deal ? “
            “Oke.” Ia meraih tangan kananku dan menjabatnya. Sampai di depan pintu luar rumah sakit, sebuah taxi sudah menunggu kami.
            “Taxi ?  uang siapa ?” tanyaku.
            “Adam, sebagai balasan tidak meminjamkanmu uang rawat. “
            “Ya, dan aku memesan taxi yang ber-AC, oke ?  no ada complain,” sahut Adam, aku memberikan senyum kecil ke arahnya dan ia menjadi orang pertama yang masuk Taxi, duduk di depan. Randi membantuku masuk ke dalam. Begitu kami berangkat, gerimis datang.
            “Adam, apa saja barangku yang masih tersisa ?” tanyaku.
            “Lihatlah sendiri aku takut ada yang terlewat.” Ia memberikan tasku ke Randi lalu dibukalah isi tasku satu persatu. Ia membuka isi ransel depan, mengeluarkan isi isinya. Tak begitu banyak, hanya berisi dompet kulit coklatku dan sebuah handphone dengan layar LCDnya yang pecah. Lalu Randy mengeluarkan isi ransel bagian belakang.
            “Hanya itu yang bisa kami temukan saat kecelakaan kemarin.” Kata Adam, sembari Randi mengeluarkan barang barang yang isinya lebih banyak pernik mobilku. Aku tidak terlalu terfokus pada barang barangku sekarang, yang aku khawatirkan adalah kartu pendudukku dan surat surat kendaraan yang ada di dompet.
            Aku mengangguk ke Randi, mengisyaraktan untuk menyudahi pengecekan barang.
            “Jessi mengirimu SMS ke handphonemu tadi pagi, saat kau masih tidur. Aku membacanya.” Kata Adam, ia menatapku melalui kaca mobil.
            “Isinya ? ” tanyaku heran.
            “Lebih baik bila kau lihat sendiri.” Aku mengambil handphoneku yang berada di tangan Randi, sebagian barang barangku sudah ia masukkan kembali ke ransel. Beruntung hanya layarnya yang pecah, aku masih bisa menggunakannya. Kubuka inboxku dan tertera pesannya di sisi paling atas.
            “Masih banyak selain Jessi disana bukan ?” Kata Adam.
            “Yah kau benar. Lagipula aku tidak merencanakan hubungan ini sebagai jangka panjang,” kataku. Tidak shock ia memutusku, lagipula beberapa bulan ini memang aku sedikit bosan dan mengacuhkannya. Beberapa kali ia komplain di telepon dan aku selalu menolak untuk bertemu.
            “Permen ?” tawar Randi. Aku menggeleng, kulihat hujan diluar, cukup deras, sedikit lagi kami akan sampai di kosan.
            “Apa orang tuaku tau akan ini ?”
            “Belum, kami tidak bisa menghubungi mereka. Kami tidak bisa mencari nomer telponnya, di kontak Hpmu pun kami tidak menemukannya.” Kata Randi.
            “Baguslah, aku tak ingin mereka khawatir.” Inilah alasanku mengapa tidak menyimpan nomer  orang tuaku, mencegah agar mereka terlalu proktektif dan khawatir akanku. Aku sering berganti simcard, itu membuat mereka sulit menghubunginku. Bila ingin menguhubungi mereka, aku biasanya ke telpon umum.  Tiba tiba handphoneku berbunyi. Tertera dengan jelas no telepon rumahku di layar.
            “Hey, kalian tidak bohong kan kalau tidak memberi no handphoneku ke mereka ?” tanyaku. Adam dan  Randi menggelengkan kepala mereka. Apa mungkin Jessi ? Sudahlah, daripada bertambah rumit aku putuskan untuk tidak mengangkat telpon mereka.
            “Ran, ada minuman ?” kata adam.
            “Gak ada.”
            “Bagaimana kalau kita berhenti di toko depan? “ tawar Adam.
            “Gak usah, lagipula sebentar lagi kita sudah sampai.”
            “Anjing!!” teriak Adam, badanku terdorong ke depan, kepalaku terbentur bangku supir, begitu juga dengan Randi. Aku tak sempat melihat Adam dan si sopir taxi. Jaitan luka di perutku yang masih basah terasa sakit lagi, aku meronta keras. Aku memejamkan mata, tak tahu apa yang terjadi. Hingga kusadari setiap rontaan yang aku keluarkan justru menambah rasa sakitku. Baiklah akan kucoba diam. Tanganku menekan kulit sekitar lukaku,  
“Kenapa kutekan ? “ pikirku. Aku mencoba membuka mata sekarang, lukaku yang kulihat pertama kali. Kubuka kaosku yang berwarna gelap, jaitan lukaku sobek, dorongan keras tadi membuatnya. Kubenarkan posisiku, kepalaku yang tadi bersandar ke kursi supir kini kuangkat dan aku mencoba duduk normal. Benturan tadi cukup membuat pusing ternyata. Aku menoleh ke arah Randi, ia bersandar di kursi, kepalanya menoleh kearah kaca mobil.  Kini ke Adam, kepalanya bersandar ke kaca, aku bisa melihat pendarahan luar di ubunnya, darahnya keluar banyak.
Kurebahkan tubuhku di kursi, mencoba tenang sambil memegangi lukaku. Darahku melumuri tanganku sekarang.
Tenang, tenang.
Aku mengambil nafas panjang. Aku mencoba membangungkan Randi dengan menepuknya kecil dengan tangan kiriku tapi ia tidak merespon. Yang harus kulakukan sekarang adalah melihat keadaan sekitar. Kugosok gosokan kaca mobil untuk mengurangi embun, kami berada di jalan perumahan tempat kos kami berada, sekitar 2 kilo lagi untuk sampai di tempat kami. Hujan deras yang mengguyur di luar mungkin membuat orang orang malas keluar. Lalu apa yang menyebabkan hal ini ?
Aku turun dari mobil, beruntung masih mempunyai kekuatan. Kubuka pintu mobil, kulangkahkan kedua kakiku keluar. Hujan deras mengguyur seluruh tubuhku dan membuat badanku menggigil dingin, berusaha aku abaikan dan kuteruskan berjalan ke depan. Yang kulihat disini adalah mobil kami menabrak sebuah mobil sedan hitam. Hidung taxi dengan sedan hitam ini bertabrakan keras hingga membuat kedua duanya peok. Kini aku berjalan ke depan, mengamati siapa penumpang di dalam mobil lain. Aku mengintip kursi supir melalui jendela pintu, terlihat supir mobil itu bersandar dengan kepala miring ke kanan dan mata terpejam. Dahinya mengeluarkan darah cukup banyak. Badannya kecil dan kurus.
Aku menggelengkan kepala, seminggu aku mengalami dua kali kecalakaan.
 Aku kembali ke taxi, oh aku hampir lupa dengan supir taxi kami. Kubuka pintu taxi, tidak dikunci. Terkaget badan supir taxi terjatuh ke aspal, ia bersandar di pintu ternyata. Aku mengangkatnya kembali, dan kududukkan kembali ke kursinua. Aku langsung berjalan cepat ke kursiku semula, duduk dan mencari cari handphoneku. Alhasil gagal kutemukan seingatku tadi kuletakkan di kursi. Pikiranku semakin rumit, aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
Dimana rasionalitasku sekarang ? aku berusaha tertawa dalam hati, menertawai kebodohanku sekarang sesuai dengan sikon seperti ini.  Aku bangkit kembali dari mobil menuju ke tengah jalan. Masih sepi, tak ada satu kendaraanpun yang lewat. Orang orangpun tak ada yang keluar dari rumahnya. Apa mereka tidak mendengar suara dari tabrakan ini ?
Sakit di lukaku terasa lagi, aku berusaha menahannya dengan mengeluarkan ekspresi meringis. Kini aku tinggal memilih rumah mana yang akan aku ketok pintunya. Kulihat berkeliling, di ring road ini terdapat 8 rumah, 4 di depanku kali ini, 4 dibelakangku. Aku memilih yang tepat berada di depanku, rumah sederhana berwarna kuning dengan garasi kecil. Sebuah mobil sedan terparkir disana, tampak sepertinya rumah itu yang berhuni. Beberapa rumah lain sekitar sini tampak kosong.
Sebelum melangkah ke rumah itu aku menoleh ke belakang, berharap salah satu dari mereka bangun. Bila kupikir sekali lagi kecelakaan ini cukup aneh. Aku bahkan tidak mengecek apakah mereka masih hidup atau tidak. Mencoba berpikir positif aku melanjutkan langkahku ke depan.        Rumah ini berpagarkan tiang tiang setinggi badanku, pintu pagarnya digembok. Aku berusaha mencari bel atau semacamnya tapi tak berhasil kutemukan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengetuk ngetukkan gembok ini dengan pagar agar keluar bunyi dentingan keras.
Menunggu harapan keluar, hujan deras terus mengguyur. Kepalaku bertambah pusing, badankupun terasa lelah sekarang beruntung darah di luka ini tak sering keluar sekarang. Aku menundukkan kepala, seakan sengaja agar butiran air mengenai otakku secara langsung.
Suara gesekan engsel pintu terdengar, aku langsung menengadah. Ia laki laki yang sebaya denganku, tak pernah kujumpai di komplek perumahan ini. Menggunakan kaos hitam dan bercelana pendek bunga bunga. Cukup feminim. Ekspresinya dingin, ia justru tampak curiga dengan kedatanganku. Berjalan pelan ke arahku dengan sikap siaga. Kami hanya dibatasi oleh sebuah pagar sekarang.
“Mas tolong, kami mengalami kecelakaan.”kataku gugup sambil menunjuk ke arah mobil kami. Ekspresinya berubah, matanya yang menyipit tadi melebar, ia tampak shock. Ia langsung berlari dan membuka gembok, butuh sekitar 20 detik untuk membuka gembok pagar. Ia menuju ke arah mobil sedan hitam yang bertabrakan dengan kami. Aku berjalan pelan menyusulnya.
Lelaki itu menggedor gedor jendela pintu supir. Bisa kulihat dari wajahnya tampak ia begitu khawatir. Berkali kali ia mencoba membuka pintu mobil itu
“Tunggu. Mungkin anda mempunyai telepon atau semacamnya, kita bisa menghubungi ambulans,” kataku, dan ia tidak merespon, sibuk sendiri dengan kepanikannya. Lelaki itu kini berlari ke dalam rumah, mungkin ia benar benar mendengarkanku tadi.
Aku kembali duduk di taxi untuk menunggunya, sudah sepuluh menit yang lalu ia kembali ke rumah. Duduk bersama tiga orang yang kepastian hidupnya diragukan cukup aneh bagiku. Akupun mendekat ke Randi mencoba mengecek denyut nadinya. Kutegakkan jari telunjuk dan jari tengahku lalu kutekankan ke arah leher Randi dengan harap harap cemas. Beruntung bagi dia dan aku, aku masih bisa merasakan nadinya. Hal yang sama kulakukan ke Adam dan supir taxi. Nadi mereka masih terasa.
Keheningan menutupi semua sekarang. Aku menarik nafas dalam dalam sekarang, mencoba rileks. Kuputuskan untuk menuju rumah itu. Aku bangkit dan berjalan pelan. Sekali lagi hujan menerpa sekujur tubuhku dan kali ini membuatku menggigil.
Aku memanggil orang itu pelan dengan panggilan“Mas,” padahal sepertinya aku yang lebih tua. Tapi tidak mendapat respon seperti yang aku harapkan. Berjalan pelan aku menyusuri garasi outdoornya. Kuperhatikan mobil sedan hitam ini. Kusadari mobil ini sama persis dengan mobil yang kami tabrak tadi. Tiba tiba aku mendengar langkah seseorang, lelaki itu berada di belakangku sekarang, ia tampak tidak memberikan perhatian akan eksistensiku disini. Ia menuju sedan hitam yang kami tabrak itu dengan membawa sebuah alat pemadam kebakaran.
Sesuai dengan prediksiku lelaki itu memukulkan jendela mobil dengan alat pemadam itu. Ia tampak kurang perhitungan, pecahan kaca bertebangan dan beberapa justru mengenai pengemudi. Ia langsung membuka kunci mobil dari dalam dan berteriak histeris.
Ia memeluk dan membopong supir sedan itu ke dalam rumah. Perasaan bingung dan kesal campur aduk disini. Aku berjalan ke dalam rumahnya, sebelum aku sampai ia sudah berada di depan pintu.
Ia memberikanku sebuah telepon genggam. Aku tersenyum lebar dan segera menekan tombol 112. Pikiranku terfokus sekarang kepada telepon ini sekarang. Rasa tanggung jawab besar kusadari telah kumiliki sekarang. Tiba tiba kepalaku seperti dihantam sesuatu, rasa pusingnya hampir sama seperti sesaat setelah kecelakaan tadi.
****
            Sesaat tadi aku teringat, kalau telepon genggamku sebenarnya berada di saku celanaku. Entah kebodohan apa yang aku lakukan tadi. Aku berpikir keras, sebenarnya salah apa aku ke Tuhan hingga diberikan hadiah kejadian kejadian seperti ini. Berusaha secercah harapan datang, aku berdoa kepadaNya sekarang. Selamatkan kami, selamatkan kami.
            Aku terikat oleh tali rafia sama seperti yang lain di mobil sesuai dengan posisi masing masing. Mulut kami ditutup menggunakan lapban, tangan kami terikat di belakang punggung. Adam dan Randi sudah sadar sepenuhnya, tapi tidak dengan supir taxi. Mereka tampak histeris, kebingungan juga terlihat di wajah mereka. Randi yang mencoba tenang, ia berusaha membuka ikatan tali itu. Aku melihat ke depan, seumur hidup aku tidak pernah melihat hal seperti ini. Tubuh seseorang di terlentang di kaca mobil, menghadap ke arah kami. Orang itu adalah lelaki kecil yang bertabrakan dengan kami, ia tidak sadarkan diri.
            Bingung harus berbuat apa aku toleh kanan kiri. Aku melihat lelaki bercelakan pendek bunga bunga tadi. Ia menangis dan membawa sebuah foto, mengenakan baju formal dengan jas hitam. Foto yang ia bawa bergambar dirinya dan seorang yang lebih kecil, berpose di depan rumahnya. Kusadari orang yang lebih kecil itu adalah orang yang terlentan di kaca mobil. Aku keheranan, mencoba berteriak tapi tidak bisa. Kuhantamkan kepalaku ke jendela mobil agar lelaki itu terdengar. Jaraknya sekitar 10 meter dari kami. Ia sempat menoleh, tapi tidak menghiraukanku.
            Randi yang tadi tampak tenang kini berubah menjadi panik. Emosi Adampun semakin tak terkontrol, sedangkan supir taxi ini masih belum sadarkan diri. Aku mencoba mencari jalan kelar, membaca situasi sekitar.
            Waktu mencapai malam. Kami berada di tengah tengah suatu jalan searah, kanan kiri memang terdapat sebuah rumah tapi semua yang terlihat adalah bagian belakang rumah. Aku terdiam, keheningan terasa dalam diriku sendiri. Mencoba tidak menghiraukan suara suara “em” yang keluar dari mulut Adam maupun Randi.
            Kami berada di tengah rel kereta api sekarang, dan itu baru kusadari tadi. Hal ini ternyata yang membuat Adam dan Randi panik. Aku menoleh ke kanan, dimana lelaki itu berdiri. Posenya tampak seperti menghadiri ritual pemakaman. Menunduk dan menangis tersedu sedu.
            Aku mengambil jurusan Akutansi. Menjadi akuntan adalah harapan orang tuaku dan untuk pertama kali jalan pikiranku searah dengan mereka. Tiga bulan lagi seharusnya aku melaksanakan wisuda S1-ku. Tapi apaboleh buat, aku harus menjemput maut sekarang. Mungkin kemarin aku berhasil menipu kematian begitu juga hari ini, dan mungkin lelaki ini adalah malaikat maut yang kesal karena tugasnya mencabut nyawaku selalu gagal.
            Handphoneku berdering lagi, sebuah harapan mungkin ?
            Beruntung sakuku cukup longgar, aku bisa mengeluarkan handphoneku dengan memiringkan badanku saja. Handphoneku berhasil keluar dari saku.
            Suara khas kereta api terdengar dari belakang, aku bisa melihat cahayanya dari kejauhan. Adam dan Randi semakin panik. Randi menghantamkan dirinya sendiri ke pintu mobil, Adam menyusul mengikuti caranya.
            Nomer telpon rumahku tertera di layar, tanganku yang terikat di belakang berusaha meraih tanda call.
            Kereta api semakin mendekat ke kami, lelaki yang terlentang di kaca mobil masih belum sadarkan juga. Mungkin ia sudah tiada, dan sekarang ini adalah upacara pemakamannya. Aku menoleh ke arah lelaki berjas lagi. Ia hanya menunduk dan menangis.
            “Halo, Yuda, nak ?” itu suara ibuku.
            “ Yuda, kenapa  susah menghubungimu ? Halo Yudha ?” dalam hati aku ingin berbicara dengannya, sungguh. Aku hanya bisa menimbulkan suara “em” dari mulutku.
            “Yuda, kenapa bising sekali disana ?” pikiranku semakin kacau.
            “Yuda halo!”
            Aku panik sekarang, kereta api hanya berada 20 meter di belakang kami. Aku menangis ketakutan dan mencoba berteriak.
            “Yuda, Ibu benar benar khawatir disini.”
Aku bisa merasakan dorongan yang keras dari belakang, sampai tulang tulang rusukku. Kesakitannya sungguh terasa, aku berteriak mencoba meminta pertolongan. Sesaat aku menoleh ke Randi, ia juga menoleh ke arahku. Wajahnya mengharapkan sebuah harapan. Kita di posisi yang sama sekarang. Aku memejamkan mata, semoga pikiranku masih bertahan lama. Suara ibuku tidak terdengar lagi, Masih banyak pertanggung jawabanku kepada orang tuaku di waktu depan nanti. 

Kamis, 24 Februari 2011

1 langkah = takdir

Mereka berdua kini berhadapan, hanya dipisahkan sebuah meja, setelah dua tahun mereka bermain seperti tikus dan kucing. Bima alias Arjuna Hitam, seorang lelaki berumur muda berumur 28 tahun yang mempunyai talenta di bidang komputer, anggar, menembak, dan perakitan bom. Kehidupan dan pekerjaannya adalah seorang pembunuh bayaran, yang selama dua tahun ini dicari oleh Fatir, seorang polisi senior. Pengejaran itu melibatkan tiga Negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan negeri sendiri Indonesia. Beruntung Negara ini memiliki sistem ekstradisi dengan kedua Negara lain. Fatir menjabat sebagai seorang polisi selama 16 tahun, yang dulunya hanya berpangkat polantas, naik drastis menjadi kesatuan bareskrim setelah menilang seorang teroris yang paling dicari, akibat tidak memakai helm saat mengendarai sepeda motor. Ia langsung menangkap teroris itu dan dianugerahi gelar dari pusat.
2 tahun lalu  Bima disalahkan atas pembunuhan seorang wakil rakyat yang mengunjungi daerah Kutai di Kalimantan. Kutai dikenal akan industri migasnya yang besar dan berproduksi tinggi. Membuat kabupaten itu mendapat penghasilan perkapita tertinggi tahun ini. Untuk itulah sang wakil rakyat datang untuk menghadiri  acara pembukaan pemboran minyak baru di wilayah selatan Kutai. Bima alias Arjuna hitam, memasang 5 bom berdiameter 6 senti yang dipasang di mobil sang wakil rakyat. Menurut tim forensik TKP, bom dipasang satu di setir, dan ban mobil dimana setiap ban dipasang satu. Bom yang dipasang di dalam dan di luar mobil mempunyai fungsi berbeda. Di dalam berisi Sulfurdioksida yang berisi kandungan lebih hingga bisa mematikan. Di ban mobil, hulu ledak bom sangatlah kecil, hanya bisa mengempiskan ban.
            Bima berada di hotel yang sama dengan sang wakil rakyat. Malam sebelumnya, ia sudah memasang kelima bom dimobil itu. Mobil berisikan 3 orang, yaitu satu supir, seorang sekertaris wanita dan sang wakil rakyat. Mereka menuju arah Kutai Selatan dari hotel mereka dan diperkirakan sampai sekitar pukul 9, dan bompun sebelumnya diset meledak pukul 08.15. Ban mobil meledak terlebih dahulu dan membuat mobil terguling dengan jarak 15 meter ke depan. Saat mereka sekarat dan terancam tewas karena pendarahan, bom di setir mobil meledak, meyebabkan racun yang berakibat mematikan.
Mereka tewas,  Bimapun melangkah pergi tanpa jejak.
Tapi itu hanyalah perkiraan yang seharusnya, yang terjadi adalah
Sekertaris wanita mengalami hambatan setelah ia merasa make-upnya terlalu tebal, padahal dia sudah dua langkah menuju mobil, ia pun kembali ke mobil. Beruntung baginya wakil rakyat itu belum berada di mobil, karena ia mengalami hambatan juga. Ia lupa membawa jas hitam kesayangannya yang dia jadwalkan untuk acara pembukaan ini. Jadi dia harus memilih di antara 5 jas lain yang ia bawa untuk dipakai. Sang sekertaris selesai membenahi make-upnya, ia siap untuk keluar. Sesaat ia membuka pintu kamar, dan berjalan keluar Ia bertabrakan dengan wakil rakyat tersebut, membuat wakil rakyat dan perempuan terjatuh. Sang wakil rakyat itu bangun terlebih dahulu dan membangunkan sekertaris wanita. Panah cinta ternyata menancap ke hati wakil rakyat setelah itu. Mereka berpandangan sekitar 46 detik,dan akhirnya mereka berjalan bersama ke mobil. Si sopir ternyata tidak bersiap di mobil, karena merasa bosan menunggu ia akhirnya bersantai di warung depan hotel. Saat ia melihat wakil rakyat dan sekertaris datang, ia berlari menuju mobil, tapi rokoknya belum habis dan tersisa setengah. Sang wakil rakyat menganggap ini kesempatan berdua dengan sekertaris wanita. Maka terbuanglah 13 menit.
5 menit sebelum bom meledak.
            Sang sopir dengan cepat menyedot habis rokoknya dan kembali ke mobil. Sekembalinya, ia melihat wakil rakyat dan sekertaris wanita sedang bercumbu, maka ia menunda sejenak. Ia pun memutuskan menuju kamar mandi untuk buang air kecil.
            Bompun meledak.
            4 ban mobil kempes, wakil rakyat dan sekertaris tampaknya tidak terpengaruh akan hal itu. Bom yang mengandung racun di setir mobil pun meledak, mengeluarkan racun dengan efek mematikan. Baru dengan meledaknya bom ini, mereka sadar dibawah ancaman. Beruntung bagi mereka, pintu mobil tidak dikunci dan mereka bisa keluar dengan cepat. Bima mengamati mereka dari lantai 2 hotel dan setelah melihat kedua calon korbannya lari, ia mengambil Rifle di kamar hotelnya.
            Kedua korbannya berteriak meminta tolong. Mereka menghirup sedikit gas beracun tersebut, memberikan kepanikan di otak. Bima membidik wakil rakyat terlebih dahulu, ia siap menembak. Hari itu sepertinya bukan hari keberuntungan Bima, si sopir buang air kecil yang berada di lantai 2, bersebelahan dengan kamar Bima. Setelah ia melihat Bima membawa sebuah senapan, ia panik dan berteriak. Bima melihat sang sopir yang berteriak dan menembaknya dari jarak dekat tanpa membidiknya. Ia kembali ke wakil rakyat, kali ini tanpa hambatan ia mudah melakukannya. Bimapun langsung meninggalkan hotel.
            Tapi, sang sopir ternyata belum tewas, ia dirawat di Rumah Sakit terdekat dan mengalami koma selamaa beberapa bulan. Ia menjadi subjek perlindungan polisi hingga sadar. Ia pun akhirnya memberi kesaksian di kantor polisi. Polisi memberikan daftar orang orang kriminal yang paling dicari, dan ia melihat foto Bima. Bimapun menjadi buruan polisi utama setelah itu.Fatir diangkat sebagai ketua bareskim sehari setelah Bima menjadi buruan utama, dan ia langsung mendapat tugas untuk menangkap Bima.
            Fatir langsung mengerahkan para bawahannya untuk menangkap Bima. Pencarian dimulai dari tempat kelahiran Bima di Purwakarta, hingga beralih ke negeri Melayu. Foto-Foto Bima dipasang di segala penjuru sudut sudut kota Malaysia. Hingga dikabarkan Bima beralih ke kota di Thailand, Pattaya.
            Pattaya adalah Las Vegasnya Asia Tenggara. Kota ini sangat ramai dikunjungi dan menjadi tempat bermain untuk muda mudi di seluruh dunia, dan Bima memanfaatkan keramaian itu. Kepolisian disini akan sulit berunding dengan Thailand karena status Pattaya sebagai pusat wisata. Selama satu tahun Bimapun dibiarkan.
 Setahun berjalan, Fatir mengunjungi rumah Bima yang kosong dan tak berpenghuni lagi. Berharap muncul sebuah cahaya petunjuk dari Tuhan. Ruma itu cukup besar, tampak Bima adalah seorang keluarga yang kaya. Berbeda dengan rumah rumah lain di sekitar, karena disini adalah perkampungan kecil
Tuhan menjawabnya..
Fatir bertemu dengan pengasuh Bima, bukan orang tua kandungnya. Bima diasuh sejak umur 8 tahun setelah ia membunuh kedua orangtuanya. Si pengasuh adalah pembantu orang tua Bima, ia sendiri yang melihat Bima membunuh kedua orang tuanya, menggunakan sebilah pisau. Kedua orang tuanya juga pembunuh bayaran, mereka melatih Bima berbagai ketrampilan membunuh sejak ia masih balita. Karena umur dan suatu keadaan lain, Hakim memutuskan agar Bima menjadi tahanan rumah dirawat oleh pembantunnya dan melakukan homeschooling dengan pengawasan polisi. Pembunuhan yang dilakukan Bima kepada kedua orang tuanya menjadi sebuah pembelajaran baru bagi para psikiater saat itu. Berbagai psikiater datang dan menjadi dokter mental bagi Bima, menjadi sebuah pertanyaan metode apakah yang mereka lakukan untuk menyembuhkan Bima. Para psikiater itupun berhenti setelah 3 tahun merawat Bima.
Kasus Bima tidak di sebarkan di pers, kepolisian menyembunyikan hal itu. Bimapun menjadi perhatian polisi bertahun tahun. Bima disekolahkan di sekolah agensi pemerintahan. Ia diajarkan berbagai ketrampilan menjadi seorang agen. Pemerintah menjadikan dia sebagai asset Negara, dan Bima sudah diluar jangkauan polisi karena ia sekarang milik pemerintah.
Kehendak pemerintah untuk menjadikannya sebuah asset gagal. Bima kabur dari sekolah itu dan bergabung dengan mafia. Ia melakukan berbagai pembunuhan bagi para mafia atau independen. Pembunuhan independen yang dia lakukan adalah membunuh para psikiater yang pernah merawatnya, dan beberapa polisi yang pernah menangani kasusnya.
            Sulitnya menangkap Bima membuat polisi menurunkan aksi penangkapan, dilanjutkan Bima jarang melakukan pembunuhan. Nama Bima mencuat kembali setelah aksi pembunuhan Kutai.
Fatir memutuskan untuk membawa pengasuh Bima ke kantor untuk interograsi. Suatu hal yang mengejutkan terjawab, kedua orang yang dibunuh Bima bukanlah orang tuanya, orang tua Bima sesungguhnya adalah atasannya, Mafia. Ketrampilan Bima dalam membunuh sengaja ditunjukkan dengan aksinya kepada kedua orang asing itu, yang akhirnya dianggap sebagai orang tua Bima. Hingga Bima bersekolah di agensi pemerintahan dan kabur. Semua telah menjadi rencana orang tua Bima untuk memasukkan anaknya ke sekolah itu, dan membunuh para polisi terbaik di negeri yang juga sebagai pengurus kasus Bima. Sedangkan untuk pembunuhan para psikiater, Bima melakukannya untuk kesenangannya saja.
            Hal ini membuat Mafia tersebut menjadi tujuan utama Fatir, dan dengan tangannya sendiri Fatir menangkap Mafia itu tanpa surat perintah. Ia pun member dua pilihan kepada mafia itu, mati atau memanggil Bima alias Arjuna Hitam pulang dan diserahkan ke kepolisian. Penukaranpun terjadi antara Mafia dan Bima. Benar, Fatir menyandra Mafia di puluhan anggota Mafia lain. Fatir lalu membawa Bima ke kantor polisi. Sedangkan Mafia pergi entah kemana, dan saat ini Fatir harus menginterogasi Bima tentang keberadaan Mafia.
            Mereka sekarang berhadapan, Bima dan Fatir, di sebuah ruang interogasi yang sempit. Di belakang Fatir terdapat ruang kaca dengan selambu kayu yang terbuka. Seseorang bisa melihat ruang interogasi ini dari ruang kaca itu, tapi bila seseorang berada di ruang interogasi ini, ia tidak bisa melihat ke dalam ruang kaca itu. Ruang kaca itu biasanya digunakan untuk merekam interogasi dan mengawasi, kacanya pun juga anti pecah. Ada dua orang yang pangkatnya sama dengan Fatir di dalam, mereka mengawasi dan merekam interogasi.
            “Aku mencoba menjadi kamu Bima, mencoba berpikir seperti kamu. Apa tindakanmu setelah bangun tidur, apa yang kamu makan di pagi hari, siang hari, dan malam hari. Kegiatan apa yang akan kamu lakukan di Pattaya hari ini. Aku berpikir seperti itu, dan kini aku berhasil membuat kamu duduk disini. Menanti ketukan palu hakim untukmu, berapa lama mereka memvonismu untuk hukumanmu, atau mungkin untuk hukuman mati. Sekarang beri aku lokasi dimana orang tuamu berada, Mafia.” Kata Bima.
            “Perlu kau tahu Pak Polisi.”
            “Panggil saja aku Fatir, oke. Anggap kita sudah kenal lebih dekat.” Interup Fatir.
            “Oke, perlu kau tahu Fatir, kau tak akan pernah bisa menjadi aku. Kau tak akan tahu apa yang aku pikirkan. Tak akan pernah tau keseharianku, perbedaan kita sudah sangat jelas. Kau dilahirkan untuk sebuah peraturan, aku dilahirkan untuk sebuah kebebasan. Aku dilahirkan dengan bakat ini, aku dilahirkan sebagai revolusi.” Bima tampak berbicara dengan ekspresi dingin, tangannya tampak bergerak gerak sesuai dengan irama perkataannya.
            “Kamu dilahirkan karena kegilaan orang tuamu.”
            “Tidak tidak,orang tuaku adalah anugerah Fatir. Kau akan iri kepadaku bila mempunyai orang tua seperti mereka. Bahkan mungkin sekarang kau iri kepadaku, karena talentaku ? Karena bakatku yang tidak engkau punyai ?”
            “Tidak tidak, aku justru bersyukur tidak menjadi dirimu. Dengan bakat anehmu itu.” Bima berkata dengan mimik muka yang menghina.
            “Lalu kenapa kau mencoba menjadi aku ?”
            “Pertanyaan bodoh.” Ucap Bima
“Padahal kau tak tahu kau takan bisa, takan pernah bisa menjadi aku. Tapi kau mempergunakan kesempatan itu, mencoba menjadi aku dengan alasan sebuah tindakan psikis seorang polisi untuk menangkap pelaku..” Bima berkata dengan suara keras, ingin meneruskan omongannya tapi Fatir berdiri dan beralih ke ruang kaca untuk menutup selambu. Fatirpun mengambil kunci di kantongnya dan mengunci ruang interogasi.
            “Sial, kita lupa ia punya kunci cadangan.” Kata Dani, ketua bareskim lain dengan satuan berbeda di ruang kaca.
            “Menjadi sebuah peraturan bukan bahwa para pengintrogasi tidak boleh mengunci pintu interogas..”
            “Aku tau bedebah, aku tau! Sekarang katakan dimana Mafia !”Fatir memegang tangan Bima dan memukulnya wajahnya dua kali. Bima tertawa kecil.
            “Duduklah ditempatmu Fatir duduklah, kita akan berbicang dan aku akan memberitahu lokasinya.” Fatir duduk di kursinya dan merapikan pakaiannya.
            “Oke, aku duduk, ceritakan dongeng dongeng yang ingin kamu ucapkan.” Sindir Fatir.
            “Sebenarnya aku ingin bercerita bersama denganmu Bima, kita berbagi pengalaman tentang hidup kita masing masing. Karena menurutku ada kesamaan di antara kita. Kesamaan dari kita sesuai dengan apa yang aku tebak adalah, kita haus akan tujuan bukan ?” Bima berhenti sesaat, menunggu reaksi Fatir. “Tujuanmu selama 2 tahun ini adalah menangkapku bukan ? Kau membuang semua kasus kasus lain hanya untuk fokus menangkapku. Mengumpulkan foto foto lamaku, rela menuju dubes Thailand untuk memohon izin pengejaranku ke Pattaya. Lalu kembali ke tempat asalku yang jaraknya sekitar 4 jam dari sini menggunakan pesawat. Itulah dirimu, kau terobsesi dengan tujuanmu. Kau tidak akan berhenti sebelum mendapatkannya walau terkesan mustahil.” Kata Bima dengan menggerakan tangannya sesuai dengan irama yang ia katakana.
            “Tidak, menangkapmu bukan hal yang mustahil.” Sela Fatir.
            “Tunggu aku belum selesai, kalau aku Fatir. Tujuanku selama ini adalah revolusi dan kebebasan akan diriku. Aku rela pergi jauh dari negeri ini untuk sebuah revolusi dan kebebasan. Aku rela menghabiskan waktu di Pattaya, menghadapi keramaian, menunggu waktu yang tepat untuk revolusiku dan kebebasan. Itulah tujuanku, aku menunggunya hingga tercapai ”
            “Apa yang kamu maksud dengan revolusi ha?”
            “Negeri ini pernah mengalami revolusi, sebuah perubahan secara cepat. Mereka mengatakan reformasi, aku mengatakan revolusi.”
            “Aku masih belum mengerti.”
            “Ayolah Fatir, kau tak akan bisa menangkapku bila sang wakil rakyat membawa jas kesayangannya, dengan begitu mereka akan berangkat tepat waktu dan mati sesuai perkiraanku. Satu langkah kecil merubah semua, bukankah begitu? Kau mungkins sekarang masih menjadi polantas bila kau tak menilang teroris itu. Itu adalah takdir.”
            Fatir langsung memukul Bima, Bima terjatuh ke lantai, terdengar pintu interogasi digedor oleh orang di luar.
            “Fatir. Buka pintunya !” gedoran semakin sering dan terdengar keras.
            “Semua baik baik saja Dani, tenang ! aku bisa mengatasi sendiri.” seru Fatir. Fatir lalu menggeser meja ke pintu, memastikan agar pintu tidak dapat dibuka dengan dijebol. “Baik sekarang tinggal kau dan aku bedebah !” Fatir duduk di atas badan Bima yang tergeletak di lantai. Wajah Bima memar di tulang pipi kanan. “Darimana kau bisa tau tentang aku hah!”
            “Sudah kubilangkan tadi, kau akan iri mempunyai orang tua seperti Mafia. Kau akan iri.”
            “Dari mana bajingan !” Fatir memukul tulang pipi kanan Bima lagi.
            “Bagaimana hidup sebagai yatim piatu ? Kesepian hah ?” gumam Bima pelan. Ia menatap tajam Fatir.
            “Bajingan kamu!” Fatir memukul Bima dengan keras, tangan kanan dan kirinya bergantian memukul tulang kanan dan kiri pipi Bima. Gedoran pintu di luar sudah tidak terdengar lagi.
            Fatir menghentikan pukulannya, warna biru keunguan jelas berada di wajah Bima. Fatir berdiri dan duduk di kursinya.
            “Kalau bisa kubunuh sekarang kau disini Bima, katakan sekarang dimana Mafia.” Tegas Fatir.
            “Kau tau, orang tuaku benar benar bernama Mafia. Bukan karena sebutannya adalah Mafia.” Bima berdiri dengan tenang. “Ia lelaki yang cukup baik, ayah yang tegas. Dulunya ayahku sama denganku, sebagai pembunuh bayaran, ketrampilannya membuat banyak orang memujanya. Orang orang meminta perlindungan dibawahnya, para kriminal itu.”
            “Aku tahu, aku tahu brengsek!” Fatir menuju ke arah Bima, bersiap untuk memukul dan merobohkannya sekali lagi, tapi kali ini Bima mengelak dengan mudah . Fatir tampak kaget, kini Bima memukulnya dengan tangan kiri. Sekali pukul dan Fatir roboh.
            "Kau hanya pantas sebagai polantas, kau tak pantas mendapat pekerjaan ini.” ucap Bima. Bima menarik kerah kemeja Fatir dan membangungkan Fatir.  “Kau terobsesi dengan tujuanmu, menangkapku. Padahal kau tahu itu tidak mungkin, bukan begitu Fatir.” Fatir tampak setengah sadar, pukulan Bima tadi benar benar merobohkannya. Bima mendudukkan Fatir ke kursi.
            “Aku pasti akan membawamu ke tiang gantung.” Gumam Fatir pelan.
            “Tidak akan, bahkan interogasi ini illegal bahkan. Kau tidak akan mendapat surat perintah karena ayahku, Mafia, ia sudah merasuk ke dalam tubuh kepolisian. Bahkan tempat ini, bahkan aku tak tahu tempat ini. Tempat ini memang tempat interogasi, tapi bukan di kantor polisi, orang orang yang kau bawa kesini, hanyalah orang yang belum mengenal Mafia.” Bima menaruh kaki kanannya di atas bahu Fatir.  “Aku tahu siapa dirimu, asal usulmu. Aku sebenarnya berada di Pattaya selama satu bulan. Lalu aku kembali ke negeri ini setelahnya. Ck, saying sekali kau tidak mengetahuinya.” Bima menurunkan kakinya, ia berputar dan mengambil kursinya. Duduk di depan Fatir.
            “Setelah aku membunuhmu disini, aku akan keluar dan membunuh kedua temanmu yang tampaknya sekarang memanggil satuan petugas. Tapi aku jamin mereka akan mati di jalan, ayahku sepertinya sudah mengirim orang. Bila ayahku tidak mengirim orang, maka mungkin aku harus mengambil pistol mu ini.” Bima mengambil pistol Fatir yang berada di dalam tas kecil miliknya di lantai. “Aku tidak akan membunuhmu dengan ini untuk menghemat peluru, jadi aku akan mematahkan lehermu. Oke mari kita lihat berapa sisa peluru yang kau punya, 7 peluru. Bagus, cukup untuk membantai polisi diluar bila mereka memang jadi kemari. Colt bukan nama jenis pistol ini ? Masih terlihat bagus, kau merawatnya setiap hari ?”  Bima memandangi pistol Fatir dengan seksama.
            Kali Bima berdiri ke belakang Fatir. Melilitkan kedua tangannya.
            “Aku akan membunuh Mafia setelah itu, ia sedikit mengekangku beberapa hari ini, lalu membunuh pengasuhku yang bersedia memberi informasi kepadamu, lalu supir itu. Aku akan menembaknya dengan riffle yang sama, aku punya di gudang rumah Mafia. Inilah yang aku sebut revolusi dan kebebasan Fatir, kau mungkin akan tau jawabannya nanti di surga, bila kau beruntung bisa masuk ke sana. Sampaikan salamku kepada malaikat kematian. Sampaikan kepadanya bahwa ini saatnya ia pensiun oke ?” suara ‘kletek’ terdengar, leher Fatir patah. Bima duduk kembali, merapikan rambutnya dan memandangi mayat Fatir.
            “Bila kau tidak menilang teroris itu, kau mungkin masih hidup sekarang. Bila kau tidak kembali lagi ke rumah lamaku waktu itu, bila pengasuhku tidak bertemu denganmu. Mungkin sekarang kau masih hidup. Begitu juga dengan mereka, bila aku tidak pernah dilahirkan, mungkin mereka semua besok masih hidup.”
            Bima menyingkirkan meja yang menutupi pintu, memutar kunci dan pintu terbuka. Ia berjalan keluar sambil membawa Colt milik Fatir.
            Setiap langkah memang menentukan takdir kita. Bukan Tuhan yang menentukan, Ia hanya member arahan dan bimbingan, kita yang menentukan.