Sabtu, 02 April 2011

GARUDA TERBUANG


            Cara berpikir orang orang sudah melantur. Beberapa dari mereka menggunakan nafsu, materialistis menjadi ideologi mereka. Mereka berusaha menegakkan Pancasila, tapi yang mereka lakukan sekarang tak ada beda dengan munafik. Sepenglihatan saya, hanya bisa melihat satu orang dengan nasionalisme tinggi diantara sepuluh orang tak ubah dengan anjing di gedung atap hijau itu.
            Saya merasa jijik saat mereka menempelkan lencana pahlawan di jas saya. Memang saya beruban dan bungkuk, tapi otak dan indera saya yang lain masih bergerak. Begitu sampai di rumah, saya akan buang jauh jauh lencana ini.
            Ayah mengungkapkan alasannya mengajak saya menjadi PKI dulu. Sejahtera adalah kata awal yang ada. Keluarga petani seperti kamilah yang diperhatikan PKI saat itu, sedangkan di mata pemerintah maupun partai lain, kami tak ada bedanya dengan pengemis pinggir jalan atau perusuh yang dianggap tidak berpendidik. Kami masuk PKI, tapi masih beragama (rahasia saya dan ayah). Waktu sembahyang kami lakukan secara tersembunyi, sedangkan di luar kami berperilaku layaknya sosialis dan komunis. Silahkan mengatakan munafik, tapi saya berani bertaruh, anda pasti berbuat lebih menjijikkan lebih dari kami bila hidup di zaman itu.
            PKI membiayai setengah kehidupan kami. Beban hidup yang dulunya menjadi parasit di otak kami mulai sirna. Kebutuhan pangan kami tak lagi dipikirkan. Untuk pertama kali ayah tersenyum setelah sekian lama meratapi kepergian ibu. Kehidupan kami makin tentram setelah ayah diberi mandat PKI untuk memimpin kampanye PKI di daerah kami.
            Hingga waktu berjalan, kelakuan ayah semakin layaknya seorang komunis. Mungkin tak dapat dihindari pengaruh dari lingkungan. Ayahpun semakin jarang bersembahyang, berdo’a, maupun mengucapkan kata kata salam Islam. Karena perubahan sikapnya itu, saya semakin jarang berbicara dengannya bahkan timbul perasaan takut maupun cemas bila berada di dekatnya. Cemas akan kehidupan kami nanti, takut akan masa depan kami nanti.
            Hingga tanggal itu datang, 2 September 1965 subuh. Ayah mengusir saya dari rumah, ia memukul saya bahkan menendang. Ia memberikan beberapa rupiah untuk pesangon saya di jalan.
            Saya berjalan di gang kecil dekat rumah, tak tau jalan, seorang remaja berumur 18 tahun tak tahu arah tujuan. Kuarahkan langkah kaki ke arah terbit matahari agar semakin cepat melihat cahaya. Saya mencoba melihat kebelakang, nyala kobaran api menjadi cahaya yang saya lihat pertama kali. Mungkin itu terakhir kali saya bertatap muka dengan ayah.
            Beberapa tahun kemudian saya diangkat anak oleh seorang priyayi terkaya dan ternama di Surabaya. Ia memungut saya di gang tempat saya tinggal. Saya tak pernah pergi dari situ, tak pernah meninggalkan kediaman asli. Terlalu bingung dan ragu akan arah tujuan. Untung para pasukan partikelir tidak menangkap saya saat inspeksi orang orang PKI. Allah masih melindungi saya.
            Gusdi Waraningrat, ia memberikan semua kebutuhan saya. Dari pendidikan, Ilmu hidup, bahkan pasangan hidup. Saya adalah investasinya untuk kedepan, dan saya putuskan untuk balas budi padanya.
            Bertahun tahun saya sekolah, melanjutkan apa yang saya pelajari waktu hidup dengan ayah. Saya belajar politik dan hukum , saya belajar hidup dan filsafat serta itulah pertama kali saya tahu akan kebiadaan politik dan hukum itu sendiri. Saya ditempatkan di salah satu kursi di pemerintahan, itupun karena koneksi Gusdi dengan orang dalam. Orang dalam orde baru, yang ratanya adalah sayap kanan, yang saya perlu lakukan adalah melancarkan proyek proyek Gusdi dalam berdagang.
            Pantaskah saya hidup seperti ini ?
            Allah menjawab tidak. Hingga Gusdi akhirnya mati di atas tumpukan uangnya Tanpa menyesali atau menangisi kematiannya saya langsung beralih menjadi oposisi pemerintah. Dengan bantuan orang orang Gusdi yang akhirnya menjadikan saya penuntun mereka dan posisi saya yang memungkinkan, kami bersama melawan orde baru. Saya dan para tikus tak ber-ibu tepatnya.
            Orde baru jatuh, perlu bertahun tahun tepatnya.
            Tapi pada bertahun tahun itu masih berdaya dan ada orang orang dengan mengatasnamakan ideology mereka pancasila.
            Saya menghormati garuda ini, sungguh. Tapi akan menjadi debu dan noda bila tersentuh tangan tangan mereka.
            

3 komentar:

  1. keren.. ah gea kamu emang keren kalo nulis tentang yang dramatis-dramatis kayak gini. eh aldi ulang tahun!!!!! (nyampah banget, haha)

    BalasHapus
  2. makasih makasih :)

    Iyo di sembur ayo

    BalasHapus
  3. apik, ge....heheh
    ntar bikin buku yo..wkwkwk

    BalasHapus