Jumat, 04 Maret 2011

RITUAL



-Ketenangan manusia adalah saat mereka sedang berdoa
                Mungkin mereka memberikan morfin dengan kadar standar, hingga membuat aku setengah sadar saat ini. Aku masih bisa mendengar sentuhan antar logam, dan bisa mendengar desisan desisannya.  Selebihnya mataku silau dan remang remang bila melihat ke atas, tak bisa kubedakan. Aku mengangkat tangkanku ke atas pelan, entah untuk apa. Aku merasakan kegaduhan mereka, mereka membiusku lagi..
            Esoknya dua teman sekamarku, Adam dan Rendi menjemputku.
            “Tiga hari hari, Baru kemari lusa operasi dan sekarang mau keluar ? Kau tahu kan lukamu masih basah?” gerutu Adam, ia mengangkat tasku dan menuju pintu keluar kamar rawat. Orang orang yang melihatnya pasti ketakutan. Rambut cepaknya dan badannya yang kekar mengokohkannya. Raut mukanyapun selalu tampak garang. Apalagi kulitnya coklat kehitaman layaknya petarung dari Persia.
            “Masalahnya adalah uang Adam. Kalau kau mau meinjamkanku 300 ribu lagi mungkin kau akan memanggilku putri tidur sekarang,” balasku, aku duduk di sofa sembari membaca majalah. Rendi pun datang setelah mengurus administrasi.
            “Hei, mereka meminta kita jaminan agar kami berdua merawatmu seminggu lebih, jaitanmu masih belum kering kata mereka.”
            “Thanks, Ran,” Aku meletakkan majalah itu dan mencoba berdiri. Jaitanku langsung terasa perih, meringis sesaat, aku duduk kembali dan melempar majalah di sebelah ke kasur di depan. “Rendi bisakah kau ?” Aku memohon bantuannya, ia datang dan membopongku ke luar. Randi, ia lebih kalem dibandingkan dengan Adam. Ia yang mengurus perawatanku selama berada disini.
            Kami berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju pintu keluar.
            “Tidak apa bila aku minta tolong sekali lagi ?”
            “Yes ? “ kata Randi. Adam di belakang membawa barang barangku, kulihat ke arahnya sekali kali dan raut mukanya tampak kesal.  Mungkin perkataanku tadi di kamar cukup membuatnya meradang. Aku harus minta maaf setelah ini.
“Tolong urus asuransi mobilku, bila dapat hasil, kita akan bagi tiga. Deal ? “
            “Oke.” Ia meraih tangan kananku dan menjabatnya. Sampai di depan pintu luar rumah sakit, sebuah taxi sudah menunggu kami.
            “Taxi ?  uang siapa ?” tanyaku.
            “Adam, sebagai balasan tidak meminjamkanmu uang rawat. “
            “Ya, dan aku memesan taxi yang ber-AC, oke ?  no ada complain,” sahut Adam, aku memberikan senyum kecil ke arahnya dan ia menjadi orang pertama yang masuk Taxi, duduk di depan. Randi membantuku masuk ke dalam. Begitu kami berangkat, gerimis datang.
            “Adam, apa saja barangku yang masih tersisa ?” tanyaku.
            “Lihatlah sendiri aku takut ada yang terlewat.” Ia memberikan tasku ke Randi lalu dibukalah isi tasku satu persatu. Ia membuka isi ransel depan, mengeluarkan isi isinya. Tak begitu banyak, hanya berisi dompet kulit coklatku dan sebuah handphone dengan layar LCDnya yang pecah. Lalu Randy mengeluarkan isi ransel bagian belakang.
            “Hanya itu yang bisa kami temukan saat kecelakaan kemarin.” Kata Adam, sembari Randi mengeluarkan barang barang yang isinya lebih banyak pernik mobilku. Aku tidak terlalu terfokus pada barang barangku sekarang, yang aku khawatirkan adalah kartu pendudukku dan surat surat kendaraan yang ada di dompet.
            Aku mengangguk ke Randi, mengisyaraktan untuk menyudahi pengecekan barang.
            “Jessi mengirimu SMS ke handphonemu tadi pagi, saat kau masih tidur. Aku membacanya.” Kata Adam, ia menatapku melalui kaca mobil.
            “Isinya ? ” tanyaku heran.
            “Lebih baik bila kau lihat sendiri.” Aku mengambil handphoneku yang berada di tangan Randi, sebagian barang barangku sudah ia masukkan kembali ke ransel. Beruntung hanya layarnya yang pecah, aku masih bisa menggunakannya. Kubuka inboxku dan tertera pesannya di sisi paling atas.
            “Masih banyak selain Jessi disana bukan ?” Kata Adam.
            “Yah kau benar. Lagipula aku tidak merencanakan hubungan ini sebagai jangka panjang,” kataku. Tidak shock ia memutusku, lagipula beberapa bulan ini memang aku sedikit bosan dan mengacuhkannya. Beberapa kali ia komplain di telepon dan aku selalu menolak untuk bertemu.
            “Permen ?” tawar Randi. Aku menggeleng, kulihat hujan diluar, cukup deras, sedikit lagi kami akan sampai di kosan.
            “Apa orang tuaku tau akan ini ?”
            “Belum, kami tidak bisa menghubungi mereka. Kami tidak bisa mencari nomer telponnya, di kontak Hpmu pun kami tidak menemukannya.” Kata Randi.
            “Baguslah, aku tak ingin mereka khawatir.” Inilah alasanku mengapa tidak menyimpan nomer  orang tuaku, mencegah agar mereka terlalu proktektif dan khawatir akanku. Aku sering berganti simcard, itu membuat mereka sulit menghubunginku. Bila ingin menguhubungi mereka, aku biasanya ke telpon umum.  Tiba tiba handphoneku berbunyi. Tertera dengan jelas no telepon rumahku di layar.
            “Hey, kalian tidak bohong kan kalau tidak memberi no handphoneku ke mereka ?” tanyaku. Adam dan  Randi menggelengkan kepala mereka. Apa mungkin Jessi ? Sudahlah, daripada bertambah rumit aku putuskan untuk tidak mengangkat telpon mereka.
            “Ran, ada minuman ?” kata adam.
            “Gak ada.”
            “Bagaimana kalau kita berhenti di toko depan? “ tawar Adam.
            “Gak usah, lagipula sebentar lagi kita sudah sampai.”
            “Anjing!!” teriak Adam, badanku terdorong ke depan, kepalaku terbentur bangku supir, begitu juga dengan Randi. Aku tak sempat melihat Adam dan si sopir taxi. Jaitan luka di perutku yang masih basah terasa sakit lagi, aku meronta keras. Aku memejamkan mata, tak tahu apa yang terjadi. Hingga kusadari setiap rontaan yang aku keluarkan justru menambah rasa sakitku. Baiklah akan kucoba diam. Tanganku menekan kulit sekitar lukaku,  
“Kenapa kutekan ? “ pikirku. Aku mencoba membuka mata sekarang, lukaku yang kulihat pertama kali. Kubuka kaosku yang berwarna gelap, jaitan lukaku sobek, dorongan keras tadi membuatnya. Kubenarkan posisiku, kepalaku yang tadi bersandar ke kursi supir kini kuangkat dan aku mencoba duduk normal. Benturan tadi cukup membuat pusing ternyata. Aku menoleh ke arah Randi, ia bersandar di kursi, kepalanya menoleh kearah kaca mobil.  Kini ke Adam, kepalanya bersandar ke kaca, aku bisa melihat pendarahan luar di ubunnya, darahnya keluar banyak.
Kurebahkan tubuhku di kursi, mencoba tenang sambil memegangi lukaku. Darahku melumuri tanganku sekarang.
Tenang, tenang.
Aku mengambil nafas panjang. Aku mencoba membangungkan Randi dengan menepuknya kecil dengan tangan kiriku tapi ia tidak merespon. Yang harus kulakukan sekarang adalah melihat keadaan sekitar. Kugosok gosokan kaca mobil untuk mengurangi embun, kami berada di jalan perumahan tempat kos kami berada, sekitar 2 kilo lagi untuk sampai di tempat kami. Hujan deras yang mengguyur di luar mungkin membuat orang orang malas keluar. Lalu apa yang menyebabkan hal ini ?
Aku turun dari mobil, beruntung masih mempunyai kekuatan. Kubuka pintu mobil, kulangkahkan kedua kakiku keluar. Hujan deras mengguyur seluruh tubuhku dan membuat badanku menggigil dingin, berusaha aku abaikan dan kuteruskan berjalan ke depan. Yang kulihat disini adalah mobil kami menabrak sebuah mobil sedan hitam. Hidung taxi dengan sedan hitam ini bertabrakan keras hingga membuat kedua duanya peok. Kini aku berjalan ke depan, mengamati siapa penumpang di dalam mobil lain. Aku mengintip kursi supir melalui jendela pintu, terlihat supir mobil itu bersandar dengan kepala miring ke kanan dan mata terpejam. Dahinya mengeluarkan darah cukup banyak. Badannya kecil dan kurus.
Aku menggelengkan kepala, seminggu aku mengalami dua kali kecalakaan.
 Aku kembali ke taxi, oh aku hampir lupa dengan supir taxi kami. Kubuka pintu taxi, tidak dikunci. Terkaget badan supir taxi terjatuh ke aspal, ia bersandar di pintu ternyata. Aku mengangkatnya kembali, dan kududukkan kembali ke kursinua. Aku langsung berjalan cepat ke kursiku semula, duduk dan mencari cari handphoneku. Alhasil gagal kutemukan seingatku tadi kuletakkan di kursi. Pikiranku semakin rumit, aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
Dimana rasionalitasku sekarang ? aku berusaha tertawa dalam hati, menertawai kebodohanku sekarang sesuai dengan sikon seperti ini.  Aku bangkit kembali dari mobil menuju ke tengah jalan. Masih sepi, tak ada satu kendaraanpun yang lewat. Orang orangpun tak ada yang keluar dari rumahnya. Apa mereka tidak mendengar suara dari tabrakan ini ?
Sakit di lukaku terasa lagi, aku berusaha menahannya dengan mengeluarkan ekspresi meringis. Kini aku tinggal memilih rumah mana yang akan aku ketok pintunya. Kulihat berkeliling, di ring road ini terdapat 8 rumah, 4 di depanku kali ini, 4 dibelakangku. Aku memilih yang tepat berada di depanku, rumah sederhana berwarna kuning dengan garasi kecil. Sebuah mobil sedan terparkir disana, tampak sepertinya rumah itu yang berhuni. Beberapa rumah lain sekitar sini tampak kosong.
Sebelum melangkah ke rumah itu aku menoleh ke belakang, berharap salah satu dari mereka bangun. Bila kupikir sekali lagi kecelakaan ini cukup aneh. Aku bahkan tidak mengecek apakah mereka masih hidup atau tidak. Mencoba berpikir positif aku melanjutkan langkahku ke depan.        Rumah ini berpagarkan tiang tiang setinggi badanku, pintu pagarnya digembok. Aku berusaha mencari bel atau semacamnya tapi tak berhasil kutemukan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengetuk ngetukkan gembok ini dengan pagar agar keluar bunyi dentingan keras.
Menunggu harapan keluar, hujan deras terus mengguyur. Kepalaku bertambah pusing, badankupun terasa lelah sekarang beruntung darah di luka ini tak sering keluar sekarang. Aku menundukkan kepala, seakan sengaja agar butiran air mengenai otakku secara langsung.
Suara gesekan engsel pintu terdengar, aku langsung menengadah. Ia laki laki yang sebaya denganku, tak pernah kujumpai di komplek perumahan ini. Menggunakan kaos hitam dan bercelana pendek bunga bunga. Cukup feminim. Ekspresinya dingin, ia justru tampak curiga dengan kedatanganku. Berjalan pelan ke arahku dengan sikap siaga. Kami hanya dibatasi oleh sebuah pagar sekarang.
“Mas tolong, kami mengalami kecelakaan.”kataku gugup sambil menunjuk ke arah mobil kami. Ekspresinya berubah, matanya yang menyipit tadi melebar, ia tampak shock. Ia langsung berlari dan membuka gembok, butuh sekitar 20 detik untuk membuka gembok pagar. Ia menuju ke arah mobil sedan hitam yang bertabrakan dengan kami. Aku berjalan pelan menyusulnya.
Lelaki itu menggedor gedor jendela pintu supir. Bisa kulihat dari wajahnya tampak ia begitu khawatir. Berkali kali ia mencoba membuka pintu mobil itu
“Tunggu. Mungkin anda mempunyai telepon atau semacamnya, kita bisa menghubungi ambulans,” kataku, dan ia tidak merespon, sibuk sendiri dengan kepanikannya. Lelaki itu kini berlari ke dalam rumah, mungkin ia benar benar mendengarkanku tadi.
Aku kembali duduk di taxi untuk menunggunya, sudah sepuluh menit yang lalu ia kembali ke rumah. Duduk bersama tiga orang yang kepastian hidupnya diragukan cukup aneh bagiku. Akupun mendekat ke Randi mencoba mengecek denyut nadinya. Kutegakkan jari telunjuk dan jari tengahku lalu kutekankan ke arah leher Randi dengan harap harap cemas. Beruntung bagi dia dan aku, aku masih bisa merasakan nadinya. Hal yang sama kulakukan ke Adam dan supir taxi. Nadi mereka masih terasa.
Keheningan menutupi semua sekarang. Aku menarik nafas dalam dalam sekarang, mencoba rileks. Kuputuskan untuk menuju rumah itu. Aku bangkit dan berjalan pelan. Sekali lagi hujan menerpa sekujur tubuhku dan kali ini membuatku menggigil.
Aku memanggil orang itu pelan dengan panggilan“Mas,” padahal sepertinya aku yang lebih tua. Tapi tidak mendapat respon seperti yang aku harapkan. Berjalan pelan aku menyusuri garasi outdoornya. Kuperhatikan mobil sedan hitam ini. Kusadari mobil ini sama persis dengan mobil yang kami tabrak tadi. Tiba tiba aku mendengar langkah seseorang, lelaki itu berada di belakangku sekarang, ia tampak tidak memberikan perhatian akan eksistensiku disini. Ia menuju sedan hitam yang kami tabrak itu dengan membawa sebuah alat pemadam kebakaran.
Sesuai dengan prediksiku lelaki itu memukulkan jendela mobil dengan alat pemadam itu. Ia tampak kurang perhitungan, pecahan kaca bertebangan dan beberapa justru mengenai pengemudi. Ia langsung membuka kunci mobil dari dalam dan berteriak histeris.
Ia memeluk dan membopong supir sedan itu ke dalam rumah. Perasaan bingung dan kesal campur aduk disini. Aku berjalan ke dalam rumahnya, sebelum aku sampai ia sudah berada di depan pintu.
Ia memberikanku sebuah telepon genggam. Aku tersenyum lebar dan segera menekan tombol 112. Pikiranku terfokus sekarang kepada telepon ini sekarang. Rasa tanggung jawab besar kusadari telah kumiliki sekarang. Tiba tiba kepalaku seperti dihantam sesuatu, rasa pusingnya hampir sama seperti sesaat setelah kecelakaan tadi.
****
            Sesaat tadi aku teringat, kalau telepon genggamku sebenarnya berada di saku celanaku. Entah kebodohan apa yang aku lakukan tadi. Aku berpikir keras, sebenarnya salah apa aku ke Tuhan hingga diberikan hadiah kejadian kejadian seperti ini. Berusaha secercah harapan datang, aku berdoa kepadaNya sekarang. Selamatkan kami, selamatkan kami.
            Aku terikat oleh tali rafia sama seperti yang lain di mobil sesuai dengan posisi masing masing. Mulut kami ditutup menggunakan lapban, tangan kami terikat di belakang punggung. Adam dan Randi sudah sadar sepenuhnya, tapi tidak dengan supir taxi. Mereka tampak histeris, kebingungan juga terlihat di wajah mereka. Randi yang mencoba tenang, ia berusaha membuka ikatan tali itu. Aku melihat ke depan, seumur hidup aku tidak pernah melihat hal seperti ini. Tubuh seseorang di terlentang di kaca mobil, menghadap ke arah kami. Orang itu adalah lelaki kecil yang bertabrakan dengan kami, ia tidak sadarkan diri.
            Bingung harus berbuat apa aku toleh kanan kiri. Aku melihat lelaki bercelakan pendek bunga bunga tadi. Ia menangis dan membawa sebuah foto, mengenakan baju formal dengan jas hitam. Foto yang ia bawa bergambar dirinya dan seorang yang lebih kecil, berpose di depan rumahnya. Kusadari orang yang lebih kecil itu adalah orang yang terlentan di kaca mobil. Aku keheranan, mencoba berteriak tapi tidak bisa. Kuhantamkan kepalaku ke jendela mobil agar lelaki itu terdengar. Jaraknya sekitar 10 meter dari kami. Ia sempat menoleh, tapi tidak menghiraukanku.
            Randi yang tadi tampak tenang kini berubah menjadi panik. Emosi Adampun semakin tak terkontrol, sedangkan supir taxi ini masih belum sadarkan diri. Aku mencoba mencari jalan kelar, membaca situasi sekitar.
            Waktu mencapai malam. Kami berada di tengah tengah suatu jalan searah, kanan kiri memang terdapat sebuah rumah tapi semua yang terlihat adalah bagian belakang rumah. Aku terdiam, keheningan terasa dalam diriku sendiri. Mencoba tidak menghiraukan suara suara “em” yang keluar dari mulut Adam maupun Randi.
            Kami berada di tengah rel kereta api sekarang, dan itu baru kusadari tadi. Hal ini ternyata yang membuat Adam dan Randi panik. Aku menoleh ke kanan, dimana lelaki itu berdiri. Posenya tampak seperti menghadiri ritual pemakaman. Menunduk dan menangis tersedu sedu.
            Aku mengambil jurusan Akutansi. Menjadi akuntan adalah harapan orang tuaku dan untuk pertama kali jalan pikiranku searah dengan mereka. Tiga bulan lagi seharusnya aku melaksanakan wisuda S1-ku. Tapi apaboleh buat, aku harus menjemput maut sekarang. Mungkin kemarin aku berhasil menipu kematian begitu juga hari ini, dan mungkin lelaki ini adalah malaikat maut yang kesal karena tugasnya mencabut nyawaku selalu gagal.
            Handphoneku berdering lagi, sebuah harapan mungkin ?
            Beruntung sakuku cukup longgar, aku bisa mengeluarkan handphoneku dengan memiringkan badanku saja. Handphoneku berhasil keluar dari saku.
            Suara khas kereta api terdengar dari belakang, aku bisa melihat cahayanya dari kejauhan. Adam dan Randi semakin panik. Randi menghantamkan dirinya sendiri ke pintu mobil, Adam menyusul mengikuti caranya.
            Nomer telpon rumahku tertera di layar, tanganku yang terikat di belakang berusaha meraih tanda call.
            Kereta api semakin mendekat ke kami, lelaki yang terlentang di kaca mobil masih belum sadarkan juga. Mungkin ia sudah tiada, dan sekarang ini adalah upacara pemakamannya. Aku menoleh ke arah lelaki berjas lagi. Ia hanya menunduk dan menangis.
            “Halo, Yuda, nak ?” itu suara ibuku.
            “ Yuda, kenapa  susah menghubungimu ? Halo Yudha ?” dalam hati aku ingin berbicara dengannya, sungguh. Aku hanya bisa menimbulkan suara “em” dari mulutku.
            “Yuda, kenapa bising sekali disana ?” pikiranku semakin kacau.
            “Yuda halo!”
            Aku panik sekarang, kereta api hanya berada 20 meter di belakang kami. Aku menangis ketakutan dan mencoba berteriak.
            “Yuda, Ibu benar benar khawatir disini.”
Aku bisa merasakan dorongan yang keras dari belakang, sampai tulang tulang rusukku. Kesakitannya sungguh terasa, aku berteriak mencoba meminta pertolongan. Sesaat aku menoleh ke Randi, ia juga menoleh ke arahku. Wajahnya mengharapkan sebuah harapan. Kita di posisi yang sama sekarang. Aku memejamkan mata, semoga pikiranku masih bertahan lama. Suara ibuku tidak terdengar lagi, Masih banyak pertanggung jawabanku kepada orang tuaku di waktu depan nanti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar