Rabu, 09 Februari 2011

Bukan, Maaf

Prosesi pemakaman dimulai.

Yang dimakamkan disana adalah Sely, 35 tahun, mantan istriku. Aku bercerai dengannya di usia pernikahan kami yang ke 4. Waktu itu aku berumur 28 tahun, dan dia 26 tahun. Kita sempurna di tahun pertama, konfilk di tahun kedua, tahun ketiga sesekali pisah ranjang dan memilih bercerai di tahun ketiga. Masalahnya? Di tahun ke 2, Sely melahirkan anak kami yang pertama. Ia laki laki, kami bersama memberinya nama Fahmi. Hanya Fahmi, kami masih belum berpikir kelanjutan yang pantas untuk nama itu.. Fahmi lahir dalam keadaan normal, luar biasa sehat malah. Aku bersyukur, begitu pula Sely, tak ada yang salah dengan prosesinya. Aku bukanlah rasis kalian tahu,tapi kalian bisa mengkhususkannya dalam masalah ini. Fahmi lahir dengan ras Arab. Ini masalahnya. Aku bukanlah orang Arab, begitu pula Sely. Aku mempermasalahkan hal itu, begitu juga dengan para suami di dunia yang mempunyai masalah ini. Kami berdebat dalam hal ini, Sely tahu aku bukanlah orang yang sabar. Ia sudah menerima konsekuensinya sebelum kami menikah. Aku menuduhnya selingkuh, memberikannya beribu "teteran" kalimat menuduh. Ia berusaha membalas, tapi aku keraskan suaraku
Hingga 5 menit berbicara tanpa henti akhirnya aku membiarkannya berbicara, alasan Sely simple, sederhana. Kakeknya atau mungkin saudara jauh kakeknya, atau apalah adalah seorang arab, jadi mungkinlah bila anaknya mewarisi ras itu. Dangkalnya pengetahuanku membuatku mati kutu, malas bila harus ke dokter ahli untuk membicarakan hal ini. Tes DNA ? Stop science, aku percaya akan pikiranku sendiri. Hubungan kami menjauh, dan akhirnya kami memutuskan berpisah. Hak anak kuserahkan padanya, kini aku seorang lajang, bebas. Keadaan ekonomikupun di atas rata rata penduduk di negara ini.
Beberapa bulan berpisah denganku Sely sudah mempunyai pasangan lain. Secara kebetulan adalah "Orang Arab". Mereka menikah beberapa hari yang lalu, poor them. Aku bertemu dengan Sely sehari setelah ia menikah, menjelaskan mengapa ia tak mengundangku di acara pernikahannya. Bukan itu yang dia ingin  katakan, bukan. Ia memberi penjelasan lain bahwa ia bertemu orang baru itu setelah bercerai denganku. Dengan kata lain mengatakan Fahmi bukan hasil Sely de tngannya, murni dariku. Aku hanya berkata Ya, Ya, dan Ya. Tak seperkalimatpun darinya bisa aku serap, kepalaku justru pusing karenanya. Beberapa menit kemudian aku meninggalkannya. Saat aku menuju mobil, suaminya datang dan menarik tanganku, keadaan kepalaku yang seperti ini membuatku tak segan untuk memukulnya. Betapa "cenat cenut"-nya kepalaku saat itu. Aku meninggalkannya dan langsung masuk ke mobil.
Pusing terasa sampai kini

Jasad Sely siap dikuburkan, aku berdiri kejauhan dari ritual itu. Hujan menambah kelamnya. Seluruh keluarga datang, suaminya yang baru menggendong anaknya, mereka mirip, pikirku. Aku mendekat ke arah mereka, aku ingin mereka tau eksistensiku. Aku juga pernah dalam kehidupan Sely, lima langkah ke depan. Seseorang melihatku, ia meneriakiku, tak jelas apa yang diteriakkannya. Semua kini menoleh ke aku, semua berlari ke arahku. Jasad Sely sudah dikuburkan. Fokus mereka kini ke arahku.
6 orang laki laki berlari ke arahku, termasuk suami barunya, sebelumnya ia sudah menurunkan Fahmi dan menitipkannya ke ibu Sely yang ada di sebelahnya. ke enam laki laki itu merobohkanku, memukulku masing masing. Dua kaki menginjak injak pertu dan kakiku.

Aku terbangun, pusingku sudah hilang. Dua orang datang kepadaku, mereka berpakaian polisi. Mereka mengintoregasiku. Aku memberikan mereka nama dan dan segala identitasku yang mereka perlukan, mereka juga merekomendasikanku seorang pengacara.
 Di sebelahku Selly berdiri.
Ia berkata Fahmi adalah anak kandungku, aku menggelengkan kepala dan berkata bukan. Lehernya membiru, teringat kuatnya cengkramanku ke bagian tersebut beberapa hari yang lalu, penjelasannya setelah hari pernikahan kubalas dengan eratnya tanganku ke lehernya.

Aku melihatnya menangis waktu itu, di rumah itu. Setiap perkataannya yang keluar diiringi dengant tangisannya membuatku mengalami pusing yang parah. Aku kalap, aku mencengkram lehernya. Membuatnya menangis, melolong kesakitan. Aku  meninggalkannya terbujur kaku, suaminya menyusulku waktu itu, menarik tanganku, kalapku masih ada. Aku memukulnya.

Aku membunuhnya untuk yang berharga, aku membunuhnya untuk yang terbaik, untuk kelahiran anak "mereka"
Untuk diriku sendiri

2 komentar:

  1. engga pahaam...
    yang mati selly se? la kok di paragraf terakhir masih ada selly.. yang mati siapa ge? hehe

    oh iyaa paragraf ke dua baris ke lima ada salah tulis tuuuh. harusnya "dengan" malah "de tngannya". aku baca loh geeee! :D

    BalasHapus