Sabtu, 05 Februari 2011

Pikiran sebelum kematian

Dari tiga eksekusi aku memilih hukuman gantung, alasan?aku benci sengatan listrik, dan takut akan peluru. Apalagi desas desus mengatakan bahwa mereka tidak akan menembak langsung di kepala, tapi dari kaki hingga ke atas. Mereka menikmati setiap peluru yang mereka lesakkan. Selku bersebelahan dengan tempat eksekusi mereka. Aku bisa mendengar teriakan para pidana hukuman mati  Mereka menikmatinya, para eksekutor disini.
Mereka gila ? Iya
Mereka senang ? Iya
Mereka sadar ? Tidak
Para eksekutor disini justru para ahli agama yang memberikan arahan bagi para penunggu ajal. Mereka yang memberikan kami ketenangan dan ayat ayat sucinya, mereka yang membukakan kita pintu ajal. Sipir kenalanku disini, yang kebetulan adalah sepupuku, pernah menjadi pendamping salah seorang pidana. Sampai ke dalam ruangan, sang narapidana menangis meronta, sepupuku pun sampai harus memegang erat dan berusaha mengikat sang pidana itu terikat di kursi. Para penembak atau sang eksekutor berjumlah 5 orang, mereka membawa sebuah pistol tangan biasa. Lalu apa yang membuat dia meronta menangis ?
Karena menjelang ajal ? Bukan
Saudaraku berkata, bahwa sang dari 5 orang itu sang ibu narapidana juga menjadi eksekutornya.
Gila ? Iya
Lalu bagaimana bisa? Tegakah sang ibu? Tidak, tak akan tega. Tapi bisa, bisa dibuat sedemikian. Sebuah pistol mengarah ke kepala sang ibu. 2 pilihan, sang anak yang mati, atau dia dan anaknya mati bersama. Sang ibu berusia 17 tahun saat melahirkannya, sang anak kini berusia 20 tahun.
20 tahun dan dia sudah dihukum mati.
Sang ibu masih muda, dia diiming imingi dengan uang. Apalagi dia seorang janda yang ditinggal cerai, uang akan menghapus lukanya. Lalu mengapa sang ibu? mengapa ada orang lain yang harus melakukannya? Para ahli agama ini, sang eksekutor, mereka menganut agama lain. Agama yang hanya bisa dikenal disini. Mereka mempunyai pandangan, kesalahan harus dihapuskan dengan cinta. Hapus disini mungkin bisa disamakan dengan kematian. Aku membaca kitab mereka, saudaraku membawakannya, tidak sepenuhnya sampai habis tapi.
Penjara ini dikhususkan untuk para narapidana berat dan mendapat hukuman mati. Dua tahun aku disini, aku antri untuk mendapatkan giliranku. Kini saatnya aku mendapat giliranku. Seseorang menjemputku dari sel, ia menarikku layaknya aku seorang budak. Para napi disini mungkin seorang budak dimata mereka.
Kesalahanku ? Oh, aku hanya menusuk ayahku yang juga seorang Presiden. Sejak menjabat ia mulai menjengkelkan, setiap kali berbicara dengannya membuatku rasanya ingin muntah saja.
Mereka membawaku ke pintu sebelah selku
Tidak..
Ini adalah tempat eksekusi menembak, tapi aku meminta hukuman gantung. Aku meminta penjelasan, ia mengolokku bodoh. Semua orang disini memilih gantung dan listrik, tak ada satupun dari mereka yang dibawa ke pilihan mereka. Semuanya di bawa ke pintu ini.
Tenang pikirku, tenang..
Aku masuk. Ruangan ini bersuasana remang, para eksekutor masing masing memakai kaos biasa.
Sepupuku sudah siap. Berapa uang kiranya akan ia peroleh ? sepuluh kali gajinya sebulan kurasa. Ia masih muda, lebih muda dariku malah. Sebuah pistol mengarah ke kepalanya, pistol yang ia bawa diarahkan ke kepalaku. Orang disebelahnya berteriak
"Kakinya!!", sepupuku membenahi arah bidikannya. Mereka membidik kakiku. Menyiksaku dulu rupanya. Aku tersenyum kepadanya, hitungan mundur dimulai.
"Pada hitungan ke tiga!"
"Satu!!"
Sepupuku melihatku, ia pucat.
"Dua!!"
"Maafkan aku..."ucapnya
"Tiga"!!
Satu persatu peluru panas menembus kakiku, pelan mereka merambat ke atas.Berusaha kupertahankan senyumanku, aku suka lesung pipiku, aku ingin melihatnya sekarang, itu satu hal yang paling kusuka dari anugerah tuhan yang dititipkan di tubuh ini. Aku mulai tak bisa merasakan tubuh bawahku kali ini, dada kakiku, dada alat vitalku. Mereka membidik ke atas, aku melihatnya, satu persatu peluru menembus kulitku, merusak tulang rusukku, bisa kurasakan.Entah sekarang aku masih tersenyum atau tidak, aku tak bisa merasakannya. Inilah akhirnya, sedikit mataku terbuka, sepupuku goyah ingin jatuh. Mereka menembaknya juga, kurasa, Hanya satu pilihan memang, dia dan aku mati. Tak ada pilihan aku, atau kami para narapidana mati sendiri.

1 komentar: